@halamanbelakangdotorg ada di instagram, loh

Aku, Orangtuaku, dan Maaf yang Sulit Terucap



halamanbelakang.org—Ibu, Ayah… tidak apa-apa. Aku sudah memaafkan kalian.

Aku memaafkan kalian karena tidak mampu menyekolahkanku di tempat yang bergengsi, karena tak selalu bisa menghadirkan lauk yang mewah di meja makan, atau mengganti bajuku yang lusuh dengan yang baru dan pantas. Aku memaafkan kalian karena tidak bisa memberiku sepatu yang tak robek di ujungnya, tas yang tak koyak di jahitannya, atau kendaraan yang tak membuatku malu saat melewati gerbang sekolah. Aku memaafkan kalian—atas segala hal yang tak pernah benar-benar bisa kalian beri, bukan karena tak ingin, tapi karena keadaan tak mengizinkan.

Aku memaafkan kalian karena tidak bisa memberiku seorang kakak—seseorang yang bisa kupanggil pulang saat dunia terasa terlalu asing. Aku memaafkan kalian atas hari-hari yang kalian habiskan terlalu lelah untuk mendengar ceritaku, atas malam-malam ketika satu-satunya yang menemaniku hanyalah kesunyian, bukan pelukan atau kalimat yang menenangkan. Aku memaafkan kalian karena tak punya jalan pintas atau koneksi yang bisa mengubah nasibku, yang bisa menarikku keluar dari segala keterbatasan yang membuatku berkali-kali ingin menyerah.

Aku memaafkan kalian untuk ulang tahun yang berlalu begitu saja, tanpa nyala lilin, tanpa nyanyian. Untuk tangis diam-diam yang kutelan sendirian karena tak ingin membebani. Aku memaafkan kalian—atas setiap kalimat yang membuat mimpiku terdengar konyol, yang membuat perasaanku tampak terlalu ribut, atau harapanku dianggap terlalu tinggi untuk dijangkau.

Aku memaafkan kalian karena membuatku harus tumbuh lebih cepat, harus mengerti sebelum dijelaskan, harus kuat bahkan sebelum sempat rapuh. Karena harus menjadi anak yang bisa diandalkan, anak yang tak boleh salah langkah, anak yang hanya dipuji jika berhasil, namun tak boleh terlihat terluka. Aku memaafkan kalian karena tanpa sadar membuatku merasa harus menjadi ‘cukup’ untuk layak dicintai—cukup pintar, cukup patuh, cukup berhasil. Padahal yang kubutuhkan hanyalah diyakini, diterima… dicintai, tanpa syarat.

Dan saat aku menuliskan ini semua, aku sadar—rasa ini telah kupanggul terlalu lama. Luka-luka kecil yang tak pernah disadari, namun pelan-pelan menjadi beban. Hari ini, aku memilih untuk meletakkannya. Bukan karena kalian memintanya. Bukan karena kalian membutuhkannya. Namun karena aku ingin membebaskan diri dari beban yang tak pernah kalian sengaja.

Aku memaafkan kalian, Ibu. Aku memaafkan kalian, Ayah. Dan aku berharap, suatu hari nanti… kalian pun bisa memaafkan diri kalian sendiri. Dan hari ini… aku hanya bisa berharap, kalian pun bisa memaafkanku.

Maafkan aku—untuk nada tinggi yang kadang melukai, untuk kata-kata kasar yang lahir dari amarah, untuk teriakan yang seharusnya tak pernah sampai ke telinga kalian. Maafkan aku karena pernah membiarkan lelah, kecewa, dan frustrasi mengambil alih caraku mencintai kalian.

Maafkan aku—karena telah gagal memenuhi harapan yang kalian titipkan dengan doa-doa sunyi. Karena pernah membuat kalian merasa tak cukup, merasa pengorbanan kalian tak berarti. Maafkan aku untuk jarak yang pernah kuciptakan… bukan karena benci, tapi karena aku tak tahu bagaimana cara mendekat tanpa membawa luka.

Maafkan aku untuk setiap lirikan sinis, untuk helaan napas yang menyiratkan penolakan, untuk diamku yang lebih tajam dari perkataan. Maafkan aku untuk pagi-pagi yang kulewati tanpa salam, malam-malam yang kulewatkan tanpa peluk, dan hari-hari ketika keberadaanku hanya seperti bayangan yang tak mengucap apa-apa.

Maafkan aku—karena gagal melihat cinta kalian yang tersembunyi di balik letihnya kerja, resahnya hati, dan segala hal yang tak pernah kalian keluhkan. Maafkan aku karena terlalu sibuk dengan lukaku sendiri, hingga tak sempat melihat luka yang diam-diam kalian sembunyikan demi aku.

Maafkan aku—untuk saat-saat ketika aku bersikap seolah dunia berutang padaku, dan kalian tak pernah cukup memberi. Padahal, kalian telah menyerahkan segalanya. Waktu, tenaga, cita-cita, bahkan bagian dari diri kalian sendiri.

Maafkan aku karena tak selalu peka pada kasih yang kalian tunjukkan dengan cara sederhana—dengan menyisakan bagian terbaik di meja makan, dengan menunggu hingga malam hanya demi memastikan aku pulang, dengan menyimpan kekhawatiran kalian dalam diam agar aku tetap bisa tersenyum.

Maafkan aku karena pernah mengira diam kalian adalah ketidaksayangan, padahal itu adalah bentuk cinta yang terbungkam oleh lelah yang panjang. Maafkan aku karena pernah berharap kalian sempurna, tanpa sadar bahwa aku pun jauh dari kata itu.

Dan jika pernah ada momen di mana kalian ragu—aku ingin kalian tahu: aku mencintai kalian. Selalu. Dengan seluruh benakku yang dulu belum mengerti, dan hatiku yang kini belajar menerima.

Aku hanya berharap… saat kelak kalian mengenangku, yang tersisa bukan amarah, bukan kecewa, bukan luka. Namun cinta. Seluruh cinta yang sempat tertunda, namun tak pernah hilang.

_

ditulis oleh Sherly Desiyanti | diunggah 29 Mei 2025, 18:06

1 komentar

  1. haru sekali
tinggalkan sesuatu di halamanbelakang.org!