halamanbelakang.org—Mendengarkan lagu ini—Mangu dari Fourtwnty—anehnya, sama sekali tidak membuatku sedih. Justru aku tergelak. Bukan karena bahagia, bukan pula karena merasa lucu, melainkan karena lagu ini seperti pintu kecil yang membuka kembali kenangan paling jujur yang pernah kusimpan. Satu sosok muncul begitu jelas dalam benakku. Seorang gadis aneh berseragam putih-biru, yang akan menangis bahkan sebelum bait pertamanya selesai. Dia konyol. Riuh. Penuh gejolak. Terlalu berani untuk merasa. Dia mencintai dengan gegabah, berharap tanpa batas, dan kecewa dalam diam.
Pernah suatu waktu, dia jatuh hati pada seorang teman sekelasnya sendiri. Perasaan itu tumbuh perlahan namun kuat, seperti akar yang menyelinap dalam tanah kering. Seseorang yang berbeda kepercayaan, yang selalu duduk di ruangan yang sama dengannya hampir setiap hari. Dia tahu perasaannya bukan sesuatu yang bisa disampaikan sembarangan. Namun dia juga terlalu muda untuk menyimpannya sendirian. Maka dia bercerita pada teman-temannya, meminta mereka menjaga itu sebagai rahasia. Dan seperti kebanyakan rahasia remaja, kisah itu menjelma menjadi bisikan yang berputar di antara banyak mulut—hingga akhirnya sampai juga ke telinga orang yang seharusnya tidak boleh tahu dari mulut orang lain.
Dia merasa agak marah. Dan agak malu. Namun saat itu, dia belum benar-benar tahu cara merasa malu. Yang dia tahu hanyalah bahwa rasa itu indah, dan bahwa kejujuran layak diberi ruang. Kini, ketika aku melihat kembali fragmen-fragmen itu, aku tahu: yang dahulu kuanggap kebodohan, sesungguhnya adalah keberanian paling murni yang pernah aku miliki. Dan sekarang, aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan—penuh rasa iri. Karena aku tak lagi punya keberanian seperti itu.
Namun cerita tentangnya tidak pernah hanya berhenti pada cinta yang berakhir bahkan saat belum sempat dimulai. Dia bukan sekadar remaja yang patah hati terlalu dini. Dia adalah versi diriku yang paling hidup. Yang paling penuh warna, paling gaduh, paling peka, paling produktif, paling semangat, paling jujur—namun juga yang paling kompleks untuk dimengerti.
Bukan karena dia menyembunyikan sesuatu, melainkan karena bahkan dirinya sendiri kerap kesulitan memahami apa yang sedang dia rasakan. Dia bisa terlihat begitu bahagia dalam satu waktu, lalu tenggelam dalam diam tanpa penjelasan. Senyumnya muncul tanpa alasan, dan air matanya pun demikian.
Bagi orang-orang yang melihatnya dari luar, dia mungkin tampak membingungkan—penuh kontras, tak tertebak. Namun baginya, itu semua terasa wajar. Karena itulah satu-satunya cara yang dia tahu untuk bertahan.
Dia bukan teka-teki yang harus dipecahkan, melainkan cerita panjang yang harus dibaca dengan hati yang sabar. Ada luka yang tak sempat dia beri nama, ada rindu yang bahkan tidak dia sadari sedang tumbuh. Kadang dia ingin didengarkan, namun enggan bicara. Kadang dia ingin ditemani, namun tak tahu cara meminta.
Dia tidak pernah benar-benar menyembunyikan diri, namun juga tidak tahu bagaimana cara menunjukkan dirinya sepenuhnya. Dia adalah musim yang berubah perlahan—dan hanya mereka yang bersedia menunggu akan bisa memahami arah anginnya.
Dia yang menari di ruang sempit rumah, menulis cerita hingga larut malam, menggambar tokoh-tokoh imajinasi dengan tangan yang tak pernah berhenti bergerak. Dunia K-pop memberinya napas. Komunitas daring memberinya ruang. Bahkan orang-orang yang belum pernah ia temui terasa lebih akrab daripada suara-suara di sekelilingnya. Semua itu bukan sekadar hobi. Itu adalah bentuk perlawanan. Bentuk pertahanan. Karena dunia nyata terlalu sempit, terlalu keras, dan terlalu sunyi untuk jiwanya yang besar dan belum mengerti cara meredam diri.
Saat hidup menjadi terlalu bising, atau justru terlalu hening, dia menciptakan dunianya sendiri.
Dunia yang tak bisa disentuh oleh siapa pun. Dunia dari musik dan fiksi—dua hal yang tidak pernah menuntutnya untuk menjadi versi yang lebih tenang, lebih patuh, lebih mudah untuk dipahami.
Di sanalah dia bernapas. Di sanalah dia hidup. Dia yang tumbuh dalam rumah yang perlahan kehilangan kehangatannya. Ayah dan ibu yang telah kelelahan saat dia baru mulai ingin merasa. Masa muda orangtuanya telah berlalu, dan sisa tenaga mereka telah habis lebih dulu. Kehangatan yang tersisa harus dibagi pada cucu-cucu yang datang lebih awal.
Bukan salah siapa pun. Namun dia belajar untuk tidak banyak meminta. Dia tidak membangkang. Tidak juga melawan. Dia hanya diam. Dan dari diam itulah, dia belajar merawat dirinya sendiri.
Emosinya sering meletup-letup, namun tidak pernah mendapat ruang yang aman untuk mekar. Maka dia menyimpannya diam-diam. Segala sesak dan girang, segala takut dan semangat, dia lipat dan selipkan di balik senyuman dan cerita. Sampai akhirnya, satu-satunya tempat yang bisa menampung semua itu hanyalah halaman-halaman cerita yang dia tulis sendiri.
Dia tahu banyak. Bisa banyak. Bermimpi lebih banyak lagi. Namun tidak ada yang sungguh-sungguh mendengarkan. Tidak ada yang berkata, “Lanjutkan.” Tidak ada tangan yang menunjuk atau menuntunnya. Maka dia melangkah sendiri, dengan langkah kecil yang ragu-ragu namun penuh nyala.
Dia tahu cara menjaga nilai-nilai dalam dirinya, meskipun tidak ada yang mengajarkannya. Dia tahu bagaimana menetapkan batas, meski tak ada pagar yang dibangun untuknya. Dia yang paling menyala, justru adalah dia yang paling diam ketika merasa sepi. Dia yang tertawa paling keras, adalah dia yang menangis paling sunyi. Dia yang tampak paling sibuk, adalah dia yang paling sering kehabisan tenaga.
Di usia lima belas, dia pernah merasa ingin berhenti. Bukan karena lemah, namun karena lelah. Justru di usia itu pula, dia menciptakan kenangan paling banyak. Kenangan yang manis, penuh warna, namun terlalu menyakitkan jika harus dikenang sendirian.
Dia kemudian terjebak di dalamnya—nostalgia yang hangat dan menyayat. Namun dia bertahan. Lewat dunia yang ia bangun sendiri. Dunia yang tidak menertawakannya, yang tidak memintanya menjelaskan siapa dirinya. Dunia yang memeluknya diam-diam, dan menyuruhnya bernapas.
Dia adalah seseorang yang begitu kurindukan dan kubanggakan, namun juga yang paling kusegani untuk kutemui kembali—karena aku tak sanggup membayangkan betapa kecewanya dia, saat melihat bahwa perjuangan dan pengorbanannya tak benar-benar kulanjutkan dengan layak. Kami tidak sampai pada titik yang dulu dia perjuangkan dengan sepenuh jiwa.
Dan terkadang, saat aku terbangun dari tidur yang sunyi dengan mata basah, aku tahu: itu adalah dia. Dia yang dulu. Gadis aneh yang pernah begitu hidup dalam diriku.
Suatu hari, seorang teman perempuan dari masa SMP—yang masih kuanggap rumah meski kini kami jarang berbicara—berkata padaku saat kami bertemu tanpa sengaja karena sebuah pekerjaan:
“Kamu masih sama kayak waktu SMP, ya... bahkan wangi parfummu masih sama.”
Ucapan itu sederhana. Namun dalam diriku, sesuatu berguncang hebat. Selama ini aku merasa sudah banyak berubah—lebih dewasa, lebih pendiam, lebih hati-hati. Namun ternyata, ada bagian dari diriku yang tidak ikut pergi. Seolah-olah gadis aneh itu masih tinggal di sini. Masih hidup dalam caraku tersenyum saat gugup. Dalam langkahku yang pelan-pelan. Dalam aroma tubuh yang tidak pernah benar-benar berubah.
Ada rasa lega. Namun juga ada kesedihan yang samar. Karena aku tahu, aku tidak pernah ingin benar-benar berubah. Aku ingin tetap menjadi dia. Atau paling tidak, menjaga sebagian kecil darinya agar tidak padam.
Dia yang penuh semangat. Dia yang jujur pada perasaannya. Dia yang menyembunyikan begitu banyak hal di balik senyum yang tenang. Dan ada satu hal lain. Yang tak pernah mudah dijelaskan: rasa ditinggal. Bukan oleh satu orang, melainkan oleh sekelompok nama yang pernah mengisi hari-hariku dengan tawa dan keberanian. Teman-teman SMP yang dulu begitu hangat, kini perlahan menjauh seperti kabut yang tak bisa digapai.
Kami mungkin masih saling menyapa di media sosial, menanggapi cerita satu sama lain dengan emoji dan tawa pendek. Namun rasanya seperti berdiri di dua sisi kaca. Saling melihat, namun tak lagi menyentuh.
Aku masih menyimpan nomor-nomor mereka. Masih berharap akan datang satu hari, ketika kami duduk bersama dan tertawa seperti dulu. Namun aku mulai ragu… apakah aku masih tinggal dalam kenangan mereka, seperti mereka masih menetap dalam diriku?
Namun sekalipun tidak, aku tetap bersyukur. Bersyukur karena pernah menjadi bagian dari cerita mereka. Pernah dianggap penting, pernah diperhatikan tanpa harus diminta. Dan untuk gadis aneh itu—dia yang masih tinggal diam-diam dalam tubuhku yang kini lebih tenang, lebih dewasa, dan lebih letih—aku ingin mengucapkan sesuatu yang tak pernah benar-benar sempat kusampaikan:
Terima kasih.
Karena kamu tidak pernah berhenti mencoba. Bahkan saat dunia tidak menyediakan ruang untukmu bernapas.
_
ditulis oleh Sherly Desiyanti | diunggah 16 Mei 2025, 22:19