@halamanbelakangdotorg ada di instagram, loh

Aku yang Mencuri Velg Karimun Itu



halamanbelakang.org—Cerita ini bermula saat Maroso, remaja 14 tahun dan berpenis, menyadari bahwa ia tergeletak di gorong-gorong belakang Rumah Sakit Madani, Cilegon. Entah apa yang membangunkannya, bisa saja terik matahari pukul sebelas, bisa saja bau lumpur yang bercampur sampah dedaunan, atau, bisa saja karena luka-luka di tubuhnya tersentuh air detergen yang mengalir dari pemukiman di sana. Itu semua tidak terlalu menarik untuk diperhatikan dan tentu lebih menarik soal mengapa Maroso bisa ada di sana; terkulai lemah, berdarah dan bonyok di sana-sini, serta tanpa celana.

Ia bangun dari posisi tidurnya yang seperti bule sedang berjemur di pantai. Ia duduk dan bengong, sesekali ia menyentuh-nyentuh pelipis kirinya yang kebiruan dan bengkak. Setiap ia menyentuhnya, ia respon dengan jeritan kecil dari bibirnya yang pecah pula. Tangan kotornya itu memeriksa yang lain; ke perutnya, ke batang lehernya, lalu ke telinga kanannya. Kali ini jeritannya lebih keras; entah karena ia kesakitan atau karena kaget sebab daun telinga kanannya tidak utuh. Seseorang pasti mengirisnya sebelum ini namun Maroso tidak ingat mengapa ia mengirisnya. Maroso hanya ingat, dengan samar-samar, bahwa seorang lelaki berbadan tegap meninju rahangnya sehingga ia terhuyung dan seorang lelaki lainnya menendang tempurung kaki kirinya dengan sepatunya yang keras. Setelah itu, Maroso tidak ingat apa yang terjadi.

Ia masih duduk di sana. Air yang mengalir dan melewati tubuhnya menjadi sedikit kemerahan, mungkin sebab bercampur darahnya. Untung saja, air di gorong-gorong itu tidak cukup untuk membuatnya tenggelam atau hanyut. Air gorong-gorong itu tidak lebih tinggi dari pusarnya saat ia duduk tapi cukup untuk membuat penisnya menguncup, lebih-lebih saat ia tidak bercelana.

Ia masih duduk di sana. Matanya melirik ke sana ke mari, yang ia tangkap hanya dinding gorong-gorong yang melengkung dan diselimuti lumut. Jangkauan matanya tidak cukup tinggi untuk melihat situasi di atas sana. Akan terlihat jika ia berdiri tapi apa daya ia tidak sanggup berdiri. Pertama, sebab tempurungnya bergeser. Kedua, sebab ia tidak bercelana. Ia hanya menghela napas panjang, lantas perlahan menunduk lalu menyentuh-nyentuh permukaan air dengan telunjuknya, berulang-ulang dan semakin pelan. Ia menatap riak kecil yang melompat di sana dan gelombang kecil yang melaju ke arah luar.

Maroso kemudian menyadari bahwa dua lelaki tegap itu adalah aparat yang geram karena Maroso mencuri velg di gudang peleburan besi. Naas betul nasibnya, pikirnya. "Andai saja aku diadopsi." Katanya lirih dan kecil.

Jika nasib baik adalah surga, maka yang selama ini Maroso rasakan adalah neraka. Jauh sebelum ini, Maroso adalah bayi merah yang dibuang orang tuanya ke halaman penggilingan padi dan seorang nenek cerewet menemukannya pagi sekali lantas membawanya ke rumahnya. Nenek cerewet itu, yang kemudian diketahui sebagai Nirah, tidak langsung melaporkan penemuannya ke aparat dusun atau apalah itu namanya. Yang ia lakukan adalah merawatnya hingga enam bulan. Nirah, menjadi ibu angkat baginya. Meski ia sudah hampir mati, tapi ia masih cukup telaten untuk memberinya kasih sayang selayaknya ibu. Tentu, ia tidak menyusui Maroso sebab ia tidak lagi berkuasa akan hal itu. Yang ia lakukan adalah menjual anting emasnya dan membeli susu bubuk ke pasar beserta kain popok dan tetek-bengek lainnya.

Ia merawat Maroso seperti anaknya sendiri. Ia juga berlakon layaknya seorang ibu yakni membelanya. Apalagi saat para tetangga mengerubungi rumahnya dan hendak membakar bayi itu sebab mereka menuduh Maroso kecil adalah bayi jelmaan iblis. Sebab jelas yang mereka herankan. Pertama, Nirah adalah janda tua dan hidup seorang diri. Kedua, bayi itu muncul tiba-tiba bagi mereka dan mustahil jika Maroso kecil lahir tanpa ayah. Nirah bukanlah seseorang yang gemar bersenggama dengan sembarang lelaki, jika pun iya, ia tidak mungkin hamil dan melahirkan di umurnya yang sepuh. Nirah juga bukan Maryam, ia hanya perempuan biasa. Jadi, mereka bersepakat bahwa Maroso kecil adalah jelmaan iblis yang harus dibakar atau paling tidak diusir keluar dusun. Itu semua terdengar mengada-ngada namun begitulah nasibnya.

Benar saja, Maroso kecil akhirnya keluar dari dusun. Bukan sebab diusir atau apalah itu namanya. Namun sebab Nirah meninggal dua hari pasca didemo. Maroso kecil kemudian diantar untuk tinggal di sebuah panti asuhan, jauh sekali dari dusun itu. Di sana, ia bertemu bayi-bayi yang sama nasibnya; dibuang, ditelantarkan atau dititipkan oleh orang tuanya.

Di sanalah ia mulai merangkak, menggigit mainan karet atau sesekali merengek minta biskuit gandum. Di sana pula ia mulai berjalan, berbicara dan memukul balita-balita lain dengan maksud mengajak bermain. Yang ada justru tangisan dari mereka. Begitulah Maroso kecil dan tangannya yang mungil.

Sampai suatu ketika, saat ia berumur sembilan dan mulai mengerti banyak hal. Ia banyak protes ke ibu asuhnya di panti asuhan sebab tidak sepasang suami istri pun sudi mengadopsinya. Ia masih ingat dua hari sebelumnya, Adam, anak asuh dan sohibnya Maroso, diadopsi oleh sepasang suami istri yang punya kebun tebu, jelas mereka kaya dan jelas pula Adam akan hidup sugih di sana. Sementara Maroso masih di panti asuhan ini dan terus merengek pengin punya orang tua asuh. Sebab, di sini, semakin kau tua semakin kecil kemungkinan kau diadopsi.

Maka yang terjadi adalah di umur sebelas, saat menjelang magrib, Maroso mengendap-endap kabur dari panti asuhan dan memulai langkah baru. Kakinya membawanya ke banyak situasi; mengemis di persimpangan jalan, menjual koran, hingga menjadi copet di Pasar Minggu, Cilegon.

Sampai akhirnya, di umur dua belas, ia bertemu Karwas, seorang remaja pencuri onderdil mobil di pelabuhan. Sejak hari itu, mereka berteman dan menjadi sohib; menjadi bajing loncat, kuli panggul atau membantu Cak Samidi membelah bangkai perahu untuk kemudian dijual ke peleburan. Namun kini, Karwas, sohibnya itu, tidak ada di sini. Ia mungkin kabur ke terminal atau ke pelabuhan atau ke mana pun itu. Yang jelas, dalam beberapa hari atau minggu, ia tidak mungkin ke sini karena aparat-aparat itu masih mengejarnya. Karwas, yang membawa velg itu untuk dijual. Sementara Maroso, mitranya dalam mencuri, tertangkap dan seperti ini nasibnya kemudian.

Ia masih menyentuh-nyentuh permukaan air di gorong-gorong dengan telunjuknya dan suara langkah kaki yang mendekat membuatnya memejamkan mata dan ketakukan, ia mengangkat kedua tangannya lantas berujar, "Aku yang mencuri velg karimun itu."

Hanya ada hening di sini. Maroso kemudian mengintip lalu bernapas lega. Sebab mereka bukan aparat-aparat itu, mereka hanya dua anak SMP yang baru saja pulang sekolah.

_

ditulis oleh Agung R. Efendi | diunggah 9 Juli 2025, 22:32

Posting Komentar

tinggalkan sesuatu di halamanbelakang.org!