@halamanbelakangdotorg ada di instagram, loh

Cinta yang Merepotkan




Sejak hari pertama, cinta memanglah merepotkan, kautahu itu. Entah mengapa, benang merah perasaan yang konon membawa bahagia ini selalu disertai dengan rangkaian kerumitan, pengorbanan, dan keputusan-keputusan yang menyakitkan.

Kerumitan ini bahkan sudah menjadi warisan penderitaan sejak awal peradaban. Tidakkah kauperhatikan kisah cinta pertama manusia, Adam dan Hawa, dalam setiap narasi agama Abrahamik, sudah menjadi pelajaran tentang hal itu? Pelanggaran di surga bukan hanya menciptakan dosa pertama, tetapi juga mengusir mereka ke dunia fana, di mana hidup bukan lagi tentang kebahagiaan abadi, melainkan perjuangan, keringat, dan kematian. Cinta di sana telah mendatangkan beban, sebuah konsekuensi tragis yang, sudang barang tentu, akan kita tanggung.

Berabad-abad kemudian, kisah Romeo dan Juliet muncul sebagai penegas bahwa cinta sejati seringkali berdarah dan tragis. Cinta mereka adalah pemberontakan, sebuah pilihan sulit untuk tetap bersama di tengah badai permusuhan keluarga yang tak masuk akal. Kaupasti setuju, pilihan mereka yang ekstrem dengan mengakhiri hidup demi menghindari perpisahan adalah puncak dari kerumitan yang tidak tertanggungkan. Jack dan Rose di atas kapal Titanic juga menunjukkan kerumitan serupa, di mana cinta pada akhirnya tereduksi menjadi pengorbanan tertinggi: Jack memilih kematian agar Rose bisa hidup.

Namun, kerumitan cinta yang paling mengerikan adalah ketika ia tidak hanya menuntut pengorbanan materi atau nyawa, tetapi juga mengaburkan semua pandangan rasional hingga mencapai titik kehancuran.

Tragedi bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya adalah contoh nyata dari ekstremitas ini. Bayangkan, pagi itu, Tri Murtiono dan Tri Ernawati, bersama dua putra mereka, Dafa dan seorang adiknya, mengendarai dua sepeda motor sebelum meledakkan diri di pos pemeriksaan. Tindakan ini adalah manifestasi distorsi cinta yang mematikan.

Cinta orang tua yang seharusnya melindungi dan menjamin kehidupan, justru diputarbalikkan menjadi paksaan untuk berbagi kehancuran. Semua naluri keibuan dan kebapakan, semua logika tentang keselamatan anak, sirna di bawah kuasa keyakinan yang mengikat sekeluarga.

Inilah puncak dari segala kerumitan: ketika cinta, sebagai sebuah komitmen total, menjadi dalih untuk menanggalkan kemanusiaan dan nalar.

Lebih dari itu, drama cinta tidak hanya berhenti pada kisah tragis yang fana. Bagi kita, seorang pria, saat kita menemukan sosok yang ingin dinikahi, kerumitan mengambil bentuk yang lebih nyata, lebih terstruktur berupa perencanaan yang terasa merepotkan.

Mencintai dan memutuskan untuk menikahi seorang perempuan adalah komitmen untuk direpotkan secara fundamental dan praktis. Persiapan itu menuntut transformasi total dari “aku” menjadi “kita,” sebuah proses yang membutuhkan: (1) Kesiapan Mental: Kauharus belajar mengesampingkan ego, membiasakan diri dengan kompromi, dan menerima kekurangannya secara utuh. Berapa banyak energi yang kausiapkan untuk restrukturisasi pola pikir ini; (2) Kesiapan Finansial: seorang yang ketus akan mengatakan: cinta tidak pernah cukup untuk membayar tagihan. Kau dituntut untuk beranjak dari kemapanan pribadi menjadi pembangunan stabilitas bersama; menyusun anggaran, menabung dana darurat, hingga merencanakan masa depan keuangan anak. Ini merepotkan karena memaksa kedisiplinan dan transparansi dalam hal yang sering dianggap tabu; (3) Kesiapan Emosional & Sosial: Kau harus mengerti dan bersiap menghadapi konflik rumah tangga, berdamai dengan masa lalu, dan menerima keluarga besar pasanganmu. Ini merepotkan karena menuntut tanggung jawab sosial yang jauh lebih luas daripada hubungan kasual.

Kerumitan-kerumitan cinta ini tidak berhenti di pasangan; ia menjalar ke dalam ikatan darah yang paling dalam: cinta kepada Ibu dan Bapak. Cinta kepada mereka adalah kasih yang paling menguji kesabaran. Kita semua mengalaminya, Ibu yang mungkin menuntut perhatian tanpa henti, atau bapak, yang keputusannya seringkali terasa berat dan tidak mudah dipahami.

Melihat bapakmu menemukan kebahagiaan baru dengan memilih untuk menikah lagi membawa kerumitan yang unik. Ini adalah cinta yang harus dipaksa beradaptasi, di mana kau harus berjuang menyingkirkan ego dan rasa memiliki, demi menerima kenyataan bahwa hidup bapakmu juga berhak menemukan bentuk kebahagiaannya sendiri. Ini bukan lagi soal Jack dan Rose yang terpisah oleh takdir, tetapi kerumitan batin yang menuntut penerimaan tanpa syarat atas pilihan hidup orang yang kau cintai.

Pada titik ini, cinta seolah menjadi sebuah paradoks kosmik. Mengapa, di tengah semua risiko dan kerepotan yang nyata, kita masih bertekuk lutut dan menyerahkan diri pada komitmen yang paling menguras ini?

Menurut teori psikologis tentang keterikatan (Attachment Theory) yang dikembangkan oleh ahli seperti Dr. Sue Johnson, manusia dirancang untuk mencari koneksi yang mendalam sebagai mekanisme bertahan hidup, bukan sekadar kesenangan.

Kerepotan yang timbul saat mencari dan mempertahankan cinta adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai keterikatan yang aman (secure attachment). Kita rela direpotkan karena, secara fundamental, kita tidak bisa hidup sebagai makhluk sosial yang terisolasi.

Kerepotan yang disajikan oleh pernikahan serupa persiapan finansial, kompromi ego, dan perjuangan melawan konflik itu sebenarnya adalah ujian dan investasi bagi keamanan emosional jangka panjang. Dengan memilih untuk direpotkan, kita memilih untuk membangun “sarang” psikologis. Proses yang merepotkan itu adalah fondasi yang kokoh, pertahanan kita melawan kesendirian eksistensial. Pada akhirnya, inilah satu-satunya cara untuk hidup: bertahan mencintai dan dicintai, tidak peduli seberapa besar kerepotannya.

Maka, setelah menimbang semua tragedi, pengorbanan, dan biaya yang harus dikeluarkan...

Mengapa kita begitu gigih memilih untuk direpotkan oleh cinta? apakah ia adalah satu-satunya hal yang memberikan makna mendalam pada keberadaan kita yang fana?

-

ditulis oleh Agung R. Efendi






Posting Komentar

tinggalkan sesuatu di halamanbelakang.org!