halamanbelakang.org—Angan tentang "negeri impian"–tempat rakyatnya makmur dan sejahtera–tak henti membayangi, menjadi lokomotif yang menggerakkan tubuh si pemalas ini. Mimpi ini bukan sekadar fantasi, melainkan pemicu tindakan nyata yang perlahan mendekatkan diri pada tujuan itu. Hari-hari terus berputar, memaksa pikiran bekerja keras demi sebuah harapan.
Ribuan orang memendam dambaan yang sama untuk menjejakkan kaki di negeri yang katanya makmur itu. Persaingan ketat tak terhindarkan, membuat jalan menuju ke sana terasa rumit dan penuh tantangan. Memang tidak mudah, butuh keterampilan khusus dan modal finansial yang tidak sedikit. Ironisnya, untuk keluar dari kemiskinan, kita justru harus mengeluarkan banyak uang. Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana bisa mengubah nasib jika untuk memulainya saja memerlukan biaya yang besar? Mengapa harus memilih merantau jika ongkosnya begitu mahal?
Jawabannya sungguh pahit: karena sulitnya mencari pekerjaan yang layak di negeri sendiri. Janji "19 juta lapangan pekerjaan" terasa seperti bualan, diiringi maraknya isu pemutusan hubungan kerja yang terus menghantui dan ketidakberesan lainnya.
Proses seleksi yang ketat menjadi tembok penghalang bagi banyak orang. Fisik prima dan akademik cemerlang menjadi syarat mutlak. Berbulan-bulan dihabiskan untuk berlari, menghafal, melatih otot, dan bergulat dengan batin, demi sebuah mimpi. Tidak sedikit yang gugur di tengah jalan, menyerah pada beratnya perjuangan atau karena faktor lain.
Setelah lolos, tantangan berikutnya adalah biaya. Tabungan terkuras, aset keluarga tergadai, bahkan sampai ada yang utangnya menumpuk. Bantuan yang dijanjikan terkadang terasa seperti penyelamat, memunculkan harapan baru, namun selalu ada pertanyaan: benarkah ini bantuan tulus, atau ada agenda tersembunyi di baliknya?
Perjalanan ini memang melelahkan, namun rasa bangga tak bisa disangkal ketika sudah sampai di sini. Ini bukan akhir, melainkan babak baru. Karakter, budaya, bahasa, dan segala perbedaan harus dihadapi. Idealisme dan prinsip yang selama ini dijunjung tinggi seolah harus disimpan dalam-dalam. Di sini, yang bisa dilakukan hanyalah menjadi "air" yang mampu menyesuaikan diri dengan segala bentuk dan suhu lingkungan. Perdebatan tentang perbedaan tak kunjung usai, namun prinsip hidup yang selama ini dibanggakan tak lagi berarti. Lagi-lagi, kembali menjadi air adalah satu-satunya pilihan.
Apakah harapan akan hilang? Mungkin saja. Banyak yang akhirnya menjadi "tupai" atau "keledai", bahkan melebur menjadi abu. Namun, tak sedikit pula yang mampu bertransformasi menjadi "gajah", "kancil", bahkan "singa", menemukan kekuatan dalam diri mereka. Kekuatan yang muncul dari harapan.
Sementara di waktu yang sama, orang-orang di negeri sendiri menggembar-gemborkan keindahan dan kesempurnaan negeri matahari terbit ini, lengkap dengan pemandangan indah, kehidupan sejahtera, dan masyarakat yang ramah. Namun, itu bisa jadi hanya cerita dari mereka yang memang sudah mapan, atau delusi dari mereka yang tidak tahan. Yang terjadi seringkali hanyalah topeng yang digunakan untuk sebuah pertunjukan. Hanya mereka yang bekerja di balik panggung yang benar-benar memahami permainan karakter pemeran. Lantas, apakah kita harus terus bermain peran, atau mengacaukan pentas karena dialog yang salah? Sebetulnya kita tidak perlu terpaku pada naskah yang ada; terkadang, improvisasi sangat dibutuhkan demi kelangsungan "pentas".
Hari-hari dipenuhi keluhan, namun kepada apa dan siapa bisa mengadu? Pesan "jika kamu ada masalah, jangan ragu menghubungi kami" terdengar menenangkan, namun sudahkah itu terbukti? Entahlah. Terlalu banyak aduan yang ingin disampaikan hingga sulit memulai dari mana. Atau mungkin yang terjadi adalah; "silakan berkeluh kesah tapi solusi cari sendiri". Sekali lagi, kembali menjadi air.
Banyak cerita indah tersebar di negeri sendiri tentang suasana di negeri orang ini. Kenyataannya, banyak cerita itu berasal dari mereka yang berlakon menjadi penduduk lokal, atau dari mulut mereka yang tetap menjadi "padat".
Namun sebaliknya, tak sedikit pula yang benar-benar merasakan harapan itu, mereka yang mampu menjadi "air" dan mengalirkan harapan itu sehingga semakin banyak orang yang ingin merantau meski keluarga, sahabat, budaya, lingkungan, biaya, dan waktu, siap ditukarkan sepenuhnya demi kebahagiaan. Apakah sepadan kebahagiaan itu harus ditukar dengan segalanya, bahkan kebahagiaan diri sendiri? Dan apakah keluarga akan merasa bahagia jika mengetahui kenyataan di balik semua ini?
Namun, bagaimana jika tetap tinggal? Kenyataan di negeri sendiri penuh ketidakpastian, kesulitan, dan kesengsaraan yang makin menggila. Lantas, apa yang dicari? Hanya sebuah keinginan agar isi perut tetap terisi. Tapi mengapa harus meninggalkan segalanya untuk itu? Karena sialnya, sekali lagi, bekerja di negeri sendiri meski bersama keluarga itu penuh ketidakpastian.
Orasi "rakyat akan sejahtera" dan "semua demi kemaslahatan umat" sering terdengar, namun semua hanya gonggongan yang menjadi tontonan. Anehnya, banyak yang tetap terbuai oleh suara-suara serupa; "19 juta lapangan pekerjaan akan terbuka," atau "akan terciptanya 19 juta lapangan pekerjaan." Suara bising yang selalu terdengar pada waktu-waktu tertentu. Yang katanya, "tindakan ini akan menyejahterakan rakyat." Entah rakyat yang mana? Nyatanya makin banyak rakyat yang bertambah kesusahannya.
Sungguh menyebalkan, bukan? Di mana pun mereka (atau kita) tinggal, kesulitan tetap hadir menyertai. Yang menyenangkan memanglah bagi ia yang dilahirkan dari rahim borjuis-kapitalis-kronik. Sedang kita yang tertindas tetaplah tertindas, dan ia yang menindas akan tetap menindas. Memanglah sebuah drama yang unik untuk dikeluhkan si perantau ini; drama menyoal kondisi Indonesia. Namun sialnya, kita cuma punya harapan dan harapan tetaplah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah keadaan. Satunya-satunya kekuatan.
_
ditulis oleh Ena R, disunting oleh Agung | diunggah 17 Juli 2025, 10:12