Peringatan: Kekerasan, Kata-Kata Kasar, Adegan Bunuh Diri
halamanbelakang.org—“JELASLAH, Pak Tua,” Ujar Awang kemudian berdehem, “Dia bunuh diri.”
Awang berdiri tegap, matanya terbuka lebar saat mengamati mayat wanita yang menggantung ke ketiak pohon mangga arumanis di kebun milik Asrul Darajat. Mayat wanita itu menggantung meski jarak kakinya dengan tanah hanya sekitar tiga puluh sentimeter. Itu cukup untuk membuat tubuhnya melayang dan biru, bisikmu.
Lelaki yang sedang mengamati mayat wanita itu adalah Awang, temanmu yang bekerja di kepolisian, tentu sebagai polisi. Ia berumur 37 tahun dan mempunyai dua anak perempuan. Matanya tajam, rambutnya ikal dan pendek seperti kebanyakan polisi lainnya. Perawakannya seperti seseorang yang getol benar olahraga.
Ia juga adalah yang senang memakai jaket kulit, sama seperti saat ini. Awang mantap betul dengan argumennya seperti hari-hari yang lalu, “Tidak ada tanda-tanda kekerasan soalnya.”
Mata Awang menuju Asrul Darajat, pemilik kebun. Ia kemudian berjalan pelan ke arahnya seraya bertanya dengan nada rendah, “Kapan ini?”
Asrul Darajat, atau si tua dan kurus yang gemar menggaruk-garuk pahanya sendiri, dengan sedikit terbata-bata karena pertama kali melihat mayat yang menggantung, menjelaskan kepada Awang, “Tadi pagi, Pak,” Ia memberi jeda dengan satu garukan terakhir ke pahanya, “Sewaktu saya mau petik mangga arumanis.”
Awang kemudian jongkok, ia mengeluarkan rokok kretek dari saku jaketnya lalu membakarnya, ia menghisapnya dalam-dalam dan sesekali memejamkan matanya, “Sebentar lagi tim forensik datang.” Ujarnya sambil menjepit rokok itu dengan jarinya, kemudian tangannya bergerak sekali ke arah luar dan abu di ujung rokoknya terjatuh, “Aku masih butuh banyak informasi. Bapak tidak usah ke mana-mana sebab memang tidak boleh ke mana-mana. Pak Asrul Darajat jadi saksi. Mau tidak mau.”
“Itu bukan bunuh diri. Dia dibunuh,” Katamu teriak dan percaya diri. Awang dan Asrul Darajat mencari dari mana sumber suara itu—yang mana adalah suaramu. Mereka menoleh ke kanan dan kiri, mencari di mana kau berada.
Awang berdiri dari jongkoknya, “Siapa itu?”
“Kau pasti tahu siapa aku,” Katamu lagi.
Awang membuang lalu menginjak rokoknya, “Kau lagi, Baron!”
Baron? Asrul Darajat bingung soal siapa Baron dan mengapa ia— atau kau ada di sini.
Namamu Baron, hanya Baron (atau orang-orang sering memanggilmu Baron Kédé, sebab kau kidal). Kau keluar dari semak-semak tempatmu bersembunyi.
“Senang bertemu kembali denganmu, Wang,” Katamu sedikit nyengir dan tolol.
“Siapa dia? Kenapa dia di sini?” Tanya Asrul Darajat ke Awang dengan cepat, ia panik betul sebab hanya satu gerbang untuk masuk ke kebunnya dan gerbang itu telah ia kunci rapat-rapat. Ia panik betul sebab kau—atau kita, dengan cara yang lumayan ajaib se-Cirangkong Wetan, dapat masuk ke kebunnya.
Kau mengangkat tangan kirimu ke udara, “Namaku Baron, atau orang-orang sering memanggilku Baron Kédé. Umurku 35 tahun.”
“Itu tidak menjawab pertanyaanku.” Asrul Darajat geram, kau tahu ia akan geram dan itu sedikit lebih cepat dari yang kau kira.
Kau kembali memperkenalkan diri, “Aku laki-laki.”
“Aku tahu itu,” Ujar Asrul Darajat ketus & dingin, “Yang aku tidak tahu mengapa kau bisa ada di sini?”
Kau sedikit tertawa, gigimu yang nyaris kuning itu terlihat jelas—aku bahkan berani taruhan bahwa Asrul Darajat dapat melihat sisa tomat di celah gigi taringmu dengan jelas meski aku juga yakin ia telah lama rabun jauh.
Kau kembali tertawa, kali ini dengan suara hampir sumbang. Kau sadar betul telah menelanjangi dirimu—telah membeberkan bahwa kau adalah seseorang yang tengil dan sedikit kekanak-kanakan.
“Aku detektif partikelir,” katamu menutup.
“Begini saja, Baron Kédé,” Kata Awang kepadamu sembari membersihkan tangannya dengan anduk kecil berwarna kuning yang selalu ia bawa dan simpan di saku belakang celananya. Kau menebak, di kepalamu tentu saja, bahwa Awang telah mandi dua kali pagi ini. Awang juga lupa menaikkan resleting celananya—Kita tahu, besar kemungkinan, ia telah menyelesaikan urusan ranjang dengan istrinya pagi sekali. Awang melanjutkan bicaranya, “Kenapa kau bisa bilang bahwa dia dibunuh?”
Kau yang gempal dan memiliki brewok nyaris tebal di wajahmu itu mendekat ke mayat. Kau lalu meraba-raba tubuh yang menggantung itu dengan matamu—hidungmu bekerja keras seperti anjing pelacak, aku tahu kau tidak senang disamakan dengan anjing pelacak, tapi begitulah keadaanmu dan aku harus menggunakan idiom yang sederhana agar kau dapat mengerti. Lalu, dengan penuh percaya diri, kau menghentikan hidungmu di dekat mulut mayat itu, “Wanita ini dibunuh,” katamu mantap. Aku senang sekali melihat rasa percaya diri itu.
Asrul Darajat heran. Ia heran padamu, hanya padamu seorang. “Aku sebetulnya tidak percaya bahwa kau ini adalah seorang detektif. Tubuhmu gempal dan….”
“Wanita ini dibunuh.” Kau memotong dan sungguh pada waktu yang tepat. Kerja bagus, kataku pelan dari sini. Aku yakin kau pasti senang saat mendengar pujian itu dariku. “Dan kau,” matamu menatap dalam-dalam wajah Asrul Darajat, kau dapat menangkap dengan jelas bibirnya yang gelap bergetar dan matanya berkedut meskipun, kau tahu itu, ia berusaha menyembunyikannya, “diamlah sebab itu perlu”
Matamu menatap Awang lalu berbisik seraya meyakinkan, “Kau membutuhkanku, Wang.” Ada senyum kecil di wajahmu—wajah yang nyaris penuh bulu, “Dan aku harus menyelesaikan kasus ini bersamamu. Ini sungguh menarik perhatianku.”
“Mulut wanita ini,” Katamu sembari memandangi tubuh wanita yang menggantung itu dari jauh, “Mulut wanita ini bau cairan pembersih lantai dan,” Kau bersandar ke pohon mangga arumanis yang lain sedang Awang mendekat ke tubuh itu. Kau merampungkan kalimatmu dengan sebuah pertanyaan, lagi-lagi pada waktu yang tepat, “Tahukah kau bagian paling menarik?”
Awang menggeleng pelan-pelan, kau melihat ia melakukan itu. Ini waktu yang tepat, Baron, kau tahu itu. Kau harus mempertontonkan kelakarmu. Kita telah lama bersepakat bahwa orang-orang cerdas atau pintar selalu membutuhkan panggung dan penonton. Sementara panggung dan penonton, sialnya, seringnya dikuasai oleh orang-orang tolol. Kita harus merebut panggung-panggung itu dari orang-orang tolol, Baron. Maka kau—seperti yang telah kita rencanakan, dengan tangan kirimu menunjuk tali yang terikat ke batang pohon mangga arumanis, “Tali tambang itu kering,” Kau memberi jeda lalu menunjuk ke arah lain—ke mayat wanita yang melayang itu, “Bukan cuma tali, tapi mayat dan pakaiannya pun kering.”
Asrul Darajat memutar bola matanya. Kita sepakat, Baron, bahwa itu adalah sikap meremehkan yang serius, benar-benar serius. Bukan cuma meremehkanmu, tetapi juga meremehkanku.
Kau harus mengatakan ini dengan perlahan, Baron. Pelan-pelan. Kau harus menyadari bahwa di dalam kepala Asrul Darajat hanya ada otak kecil yang, sudah barang tentu, membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna kalimatmu dengan baik. “Kemarin,” —Iya! Pelan-pelan. Seperti itu. “Kemarin turun hujan seharian, juga dini hari tadi. Angin tidak cukup untuk membuatnya kering. Ia pasti akan basah, sangat basah.”
Lalu kau, kembali dengan tangan kirimu, mengambil telepon genggam dari saku celanamu untuk memperlihatkan laporan cuaca, “Hujan. Di sini hujan. Kemarin dan dini hari tadi hujan. Sebetulnya kalian hanya perlu menunduk untuk menyadari. bahwa. tanah. dan. rumput. yang. kalian. injak. ini. telah. becek. ampun-ampunan.”
Ya! Aku senang saat kau menjelaskan itu dengan penuh penekanan. Rasanya seperti menyoret-nyoret wajah murid bodoh di depan kelas dengan spidol permanen.
Awang mengira-ngira, “Itu artinya…”
Kau mempertontonkan kelakarmu dan itu sungguh-sungguh menyenangkan, kau tahu itu, “Ada seseorang dini hari tadi, selepas hujan reda, datang ke sini untuk mempersiapkan ini semua—mempersiapkan tali gantung. Setelah itu datang si pembunuh, sekitar jam empat atau lima, bersama si mayat—ia menggendong mayat itu. Ia kemudian membuat mayat itu seolah-olah gantung diri.”
Asrul Darajat, atau si kolot dan lambat itu, akhirnya membuka suara meski pelan-pelan, “Jadi, dia bukan bunuh diri?” Matamu menatap wajah Asrul Darajat, “Dan aku tahu persis kau bukan pembunuhnya,” Kau menunjuk ke arah mayat itu, “Dan dia bukan bunuh diri. Sebab…”
Kau mendekat ke tubuh wanita itu lantas mengambil sesuatu dari saku kemejanya dengan sedikit berjinjit, “Sebab wanita ini berkantor di Bekasi. Perlu berkendara belasan jam untuk ke Cirangkong Wetan.” Katamu dengan percaya diri sembari memperlihatkan tanda pengenal milik si mayat.
“Wanita ini dibunuh.” Katamu, semenit kemudian, dengan yakin, “Sebab kau perhatikan ini, sepatu pantofelnya cukup bersih. Dan hari ini sabtu, kemungkinan besar yang terjadi adalah kemarin dia diperkosa lantas dipaksa meminum cairan pembersih toilet lalu mayatnya dibopong ke sini kemudian digantung sehingga seolah-olah dia gantung diri. Aku akan terus mengulang-ulang ini sampai kalian mengerti.”
Awang memajang wajah heran—seperti yang telah kita prediksikan, “Diperkosa katamu?”
Kau, dengan tangan kirimu, sedikit menarik rok si mayat dari atas lalu merapikannya kembali—kau sedang berusaha menjelaskan bahwa wanita itu tidak menggunakan celana dalam. Entahlah, Baron, kita tidak tahu akankah mereka mengerti itu. Kita terlalu pintar di sini. Lalu kau—seperti yang telah kita rencanakan, lagi-lagi dengan tangan kirimu, menunjuk sebuah sisi kebun yang lain, “Lihat!”
Awang dan Asrul Darajat berwajah kaget—seperti yang juga telah kita prediksikan, kita tahu mereka pasti akan kaget. Sebab di sana, nampak samar-samar jejak-jejak kaki berukuran besar dan sedang. Jejak-jejak itu mengarah ke suatu sisi di mana terdapat semacam lubang tikus untuk manusia di pagar tembok di kebun ini.
Kau melangkah, mendekat ke Asrul Darajat lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celanamu, “Ini adalah peniti,” Kau memberi jela, kautatap matanya dalam-dalam, “dan cukup berguna untuk membobol gembok dan grendel gerbang kebunmu.”
Hahaha, Ya! Kau benar! Kau benar aku akan tertawa saat ia kaget soal caramu masuk ke sini. Wajah kepuhnya terlihat konyol benar.
“Aku pulang dulu.” Katamu pamit.
Kita harus bergegas, Baron. Dan tepat sekali, kau pamit tepat ketika tim forensik menggedor-gedor pintu gerbang kebun ini.
Awang berwajah heran dan ia bertanya sesuatu yang, lagi-lagi, telah kita prediksikan, “Kau mau ke mana?”
“Mengejar si pembunuh,” Jawabmu sambil menunjuk langit, lagi-lagi dengan tangan kirimu
**
AKU tidak ada di kepalamu sewaktu kau lahir. Karena itu, kau sempat terganggu oleh kehadiranku di sini, di kepalamu, saat kau baru berumur 11 tahun. Kau bahkan sering menggerutu pada minggu-minggu pertama kehadiranku. Di dua tahun pertama, aku ingat betul, kau sempat bertanya sesuatu yang sebetulnya menggangguku: (1) Aku yang mempengaruhimu atau kau yang mempengaruhiku? (2) Aku yang menciptakanmu atau kau yang menciptakanku?
Sungguh, Baron. Pertanyaan itu sukar kumengerti sampai akhirnya, setelah berpuluh tahun, pada suatu sore di sela-sela istirahatmu dengan Asih setelah bermain bulutangkis, kau berterus terang kepadanya, dan hanya kepadanya, bahwa di kepalamu agaknya seperti ada sosok lain serupa dirimu dan terus berbicara, merespon, bahkan mendebatmu. Kau bercerita kepada Asih bahwa ia, atau aku, sering berbicara tidak jelas saat kau sedang bosan atau mengumpat jika sesuatu yang konyol terjadi atau orang tolol sedang bertingkah bodoh di depanmu. Asih tidak meresponmu waktu itu. Ia hanya memandangmu lalu kembali bermain telepon.
Kau hampir marah, aku ingat kau hampir marah dan aku juga ingat kau sempat bingung mengapa kau ingin marah kepadanya. Namun kumengerti ini kemudian, rasa bahagia di dirimu pada hari-hari kemarin yang berasal darinya telah melunakkan semua amarahmu.
Mulanya kau hanya memandanginya dan Asih, pada akhirnya, berbicara kepadamu.
“Jadi begini, Baron,” Katanya lembut dan sedikit tersenyum, matanya sesekali mengintip layar telepon, “Menurut Jonathan Hope, seorang sosiolog dan dosen School of Social Sciences Moscow University, yang terjadi pada dirimu itu...”
Kau melihat mata dan bibir kecilnya bergerak cepat, ia membaca sesuatu untuk dirinya sebentar lalu menjelaskan itu kepadamu, “Singkatnya,” Asih sedikit memiringkan kepalanya ke kanan, “Suara-suara di kepalamu itu berasal dari dirimu. Ia adalah ciptaanmu.”
“Kau baca itu di mana?”
“encyclopediaofsociology.jonathanhope.ru”
Kau tertawa sebentar lalu bertanya kembali, saat itu ada keseriusan di wajahmu, “Kau punya suara itu di kepalamu, Asih?”
“Aku tidak.”
“Mengapa tidak?”
“Sebentar,” Balas Asih cepat, “Ada beberapa alasan mengapa kau memiliki suara itu. Di sini tertulis, keadaan semacam ini biasanya disebabkan oleh rasa cemas atau kejadian traumatis.”
Kau diam sebentar. Matamu berkedut dan aku yakin Asih juga menyadari itu. Asih kemudian melirik kembali ke teleponnya lalu mengeja sesuatu untukmu, “Orang-orang dengan keadaan semacam ini dapat dengan mudah menciptakan sosok, ruang dan waktu, bahkan realitas alternatif dengan sangat detail di dalam kepalanya.”
Kau hanya mengangguk dan Asih menggenggam tangan kirimu lalu bertanya kepadamu dengan sebuah pertanyaan yang tidak pernah kita duga sebelumnya, “Sejak kapan kau kesepian?”
Kau mematung. Aku ingat saat itu aku mengeja jawaban atas pertanyaan itu untukmu, “Aku tidak pernah kesepian.”
“Di sini, di halaman 12 paragraf kedua, Jonathan Hope menulis,” Kata Asih sambil menunjuk layar teleponnya dengan bibirnya, “Saya melakukan survei terhadap 45239 orang dalam kurun waktu tiga setengah tahun. 68% dari mereka mengalami keadaan ini. Hampir separuh dari 30-an ribu orang yang mengalami ini mulanya mengalami kesepian akut.”
“Aku tidak pernah kesepian.” Katamu pelan. Dan aku, sebagai sesuatu yang selalu bersamamu, tahu persis bahwa kau berbohong kepadanya. Kau yang berbohong untukku? Atau aku yang berbohong untukmu?
Kau itu kesepian, Baron. Akui saja itu. Kau amat kesepian dan menyedihkan saat itu. Kau, dengan imajinasi terliarmu saat itu, menciptakanku untuk menemanimu. Agar kau merasa, setidaknya, memiliki teman meski hanya seorang. Meski imajiner.
KAU sedang berada di indekosmu saat Awang menelepon, “Jadi kau sudah dapatkan apa saja soal Yuyun Jayanti?” Tanyamu kepada Awang di seberang sana.
Kau menggenggam teleponmu dengan tangan kanan selagi tangan kirimu menggambar sketsa wajah lelaki pada kertas A4. Kau kemudian berdiri menatap tembok indekosmu. Kamar kecil berukuran 3×6 meter ini dipenuhi coret-coret serta foto-foto orang asing pada tembok. Orang-orang asing itu ialah mereka yang kau curigai dalam kasus ini.
“Dari mana kau tahu wanita itu bernama Yuyun Jayanti?” Tanya Awang. Kau tahu Baron, ini waktu yang tepat bagi kita untuk kembali berkelakar.
“Itu cukup mudah,” Katamu tengil, “Aku hanya perlu menatap wajah wanita itu dalam-dalam. Mempelajari kontur wajahnya dan memprediksi dia tinggal di mana dari warna rambut dan kulit kepalanya. Serta, yang cukup membantu, dari tanda pengenalnya.”
Awang lantas mengumpat—seperti yang telah aku prediksikan.
Tidak, Baron. Kau tidak memprediksikan bahwa ia akan mengumpat, hanya aku yang mengatakan itu sejak lima belas menit ke belakang. Sementara di sini, kau (dan tentu juga aku) hanya tertawa dengan kebodohan Awang.
Hanya kau (dan tentu juga aku) yang berani melakukan itu kepada Awang sebab Awang adalah polisi yang punya jabatan meski hanya di tingkat sektor. Meski memang, lebih jauh dari itu, Awang dan kita adalah kawan lama dan sering bekerja sama. Meski, dalam beberapa kasus, kau dan aku tidak mau dipublikasikan keterlibatan kita.
Sambungan telepon terputus, lalu kau duduk di kursi kantor pada meja belajar yang telah kau sulap untuk menyimpan barang-barang yang, kau rasa, penting. Ada kaca pembesar, ada peta yang dipaku ke tembok, ada buku catatan, dan ada lukisan belalang. Tidak ada satu penyihir pun yang tahu esensi lukisan belalang di sini, tetapi itu benar-benar ada.
Matamu terus menjelajah setiap foto, baik foto-foto orang asing maupun foto-foto lanskap dari kebun Asrul Darajat. Semua ini tampak membingungkan, kau tahu itu. Tetapi seperti hari-hari yang lalu, kita tidak pernah putus asa dalam mencari jawaban.
Meskipun begitu, kau tetaplah seperti detektif kebanyakan. Sebab jika ditarik lurus ke beberapa tahun ke belakang, ada kasus yang belum kau temui titik terang hingga kini yakni kasus Asih, pacarmu (dan tentu juga pacarku) yang korban tabrak lari.
Menjadi detektif swasta bukan perkara mudah tentu saja, kau tahu itu. Apalagi kau adalah anak yatim-piatu, ibumu mati dua belas tahun lalu sebab kena diabetes dan gagal jantung. Sedangkan bapakmu mati sembilan tahun lalu akibat stroke. Sebuah peringatan, seharusnya, untukmu (atau juga untukku?) agar menjaga berat badanmu. Lebih-lebih pekerjaanmu adalah mengejar buron dan semacamnya. Tidak sedikit pula kau dihadapkan dengan keadaan, di mana, kau harus mengintil, bersembunyi, menjotos dan menangkis atau paling tidak ngibrit kabur. Dan seperti biasa, Baron, kita adalah sepasang yang bernasib baik. Kau tidak pernah luka berat dan selalu mengatakan kepada dunia bahwa: Pikiranku —yang mana adalah aku yang selama ini berbicara padamu— berlari lebih cepat dan meninggalkan semua orang!
Pintu indekosmu diketuk, kau bangkit dari dudukmu lalu berjalan ke arah pintu. Sebelum membuka pintu, tangan kirimu sedikit menggeser gorden—yang demi belalang sembah, baunya minta ampun! Aku harus memerintahmu untuk mencucinya lain waktu— agar matamu dapat mengintip ke luar.
“Ah, Nuwas!” Katamu lantas memeluk pria berumur 28 tahun dan cungkring itu. Aku sebetulnya heran kenapa kau memeluk Nuwas, Baron? Aku, sebagai sesuatu yang terus memerintahmu, tidak pernah menyuruhmu untuk memeluk seseorang, kecuali kepada Asih, itu lain soal. Dan ya! Aku mengerti ini kemudian, kau memeluknya sebab kau diperintahkan oleh hatimu. Padahal kau tahu itu, Baron. Kita telah lama bersepakat bahwa seonggok daging itu sering merepotkanmu, merepotkan kita, juga merepotkan semua manusia di bumi ini.
Hatimu itu sering membuatku repot, Baron, dan aku tidak habis pikir mengapa kau terus memeliharanya? Kita bisa saja membuatnya tidak berguna. Kita bisa saja membuatnya mati dengan banyak metode seperti yang telah dikatakan oleh orang-orang di atas mimbar: iri, dengki, kebencian, dusta dan banyak penyebab lainnya. Kita bisa saja membiarkan perasaan-perasaan itu menumpuk pada dirinya.
Ah, Perasaan! Kau tahu itu, Baron. Perasaan sering betul membuat kita tersesat. Tapi apa daya, aku hanyalah gelembung-gelembung yang meletup-letup di kepalamu. Sekeras apapun kumemerintah agar kau tinggalkan hatimu, kau tetap memeliharanya. Aku sadar betul, Baron, bahwa kau dan jiwamu dengan sengaja memeliharanya.
Orang yang kau peluk adalah Nuwas. Aku akan kembali mengingatkanmu soal dirinya sebab itu adalah urusanku, Baron. Kau dan semua orang tidak akan pernah bisa menghentikanku melakukan ini. Baiklah. Orang itu kaukenal sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu —Ya! Terima kasih telah memuji kekuatanku dalam mengingat. Orang itu diberi nama Nuwas oleh orang tuanya. Tentu mereka ingin anaknya seperti Abu Nuwas—menjadi seorang yang dekat betul dengan Tuhan. Atau paling tidak, menjadi penyair yang muktabar
Tapi nasib berkata lain. Yang terjadi adalah Nuwas kini menjadi seorang kurir kantor pos. Sebuah pekerjaan yang, sebetulnya, bukan keinginannya. Nuwas beberapa tahun ke belakang adalah anak band. Ia punya band, yang lagunya jelek betul menurutku, bersama teman sekolahnya, bernama Pretty Phum Pretty—sebuah band yang mengusung aliran pop punk. Sungguh, kau sadar itu, Baron. Yang tertular dari Abu Nuwas kepada Nuwas hanya kehidupan yang lucu.
Meski demikian, bagimu dan bagiku, kurir kantor pos adalah pekerjaan yang pas untuk menggali informasi dalam-dalam. Sehingga bukanlah keputusan tolol jika Nuwas menjadi informan untuk kita sejak beberapa tahun yang lalu. Nuwas, sebagai kurir kantor pos, tidak akan pernah dicurigai jika masuk ke suatu daerah yang asing. Nuwas, bisa dikatakan, adalah seseorang yang punya akses ke mana saja. Asal, ia punya cukup bensin untuk sepeda motor Zongshen ZS110-26miliknya.
“Kau dapatkan sesuatu?” Tanyamu, sesuai perintahku, kepada Nuwas setelah menutup pintu.
Nuwas, di indekosmu yang cukup bau dan sempit itu, hanya mengangguk.
“SIAL! Aku keliru.” Katamu dengan suara tinggi setelah mendengar penjelasan Nuwas.
Sebentar, Baron, apa yang kau katakan? Kau keliru? Dengar ini, Baron. Pertama, aku tidak pernah keliru. Kedua, kekeliruan selalu berasal dari hatimu. Ah! Hatimu! Ya! Aku mengerti sekarang, Baron. Ia memerintahkanmu untuk menjadi soleh. Aku ingat, Baron. Kau pernah memaksaku untuk mendengarkan ceramah. “Hanyalah orang-orang soleh yang mengakui kesalahannya,” Kata si penceramah.
Baiklah, Baron. Mungkin kau ingin menjadi seperti orang-orang itu. Tapi kau harus mengerti ini, bahwa keinginanmu itu, persoalan lain waktu. Ada urusan lain hari ini.
Kaudengar itu kan, Baron? Kau dengar Nuwas menjelaskan, bahwa kemarin, Amung Gagu mendapatkan rezeki nomplok dari orang asing. Orang asing itu adalah ia yang kini kita curigai sebagai si pembunuh atau seseorang yang berkaitan dengan itu. Orang asing itu telah menjadikan Amung Gagu sebagai seseorang yang mempersiapkan tali gantung.
“Aku pikir.” Katamu cepat, “Si pembunuh sengaja mengirim seseorang dari jauh untuk sekadar memasang tali gantung. Orang jauh dan asing.”
Kau ini tolol atau bagaimana? Siapa yang memerintahmu untuk menjelaskan itu, Baron? Siapa? Katakan padaku! Aku akan terus berisik di sini sampai kutahu siapa yang memerintah itu!
Kau tidak menyimakku kali ini, kau juga tidak menyimakku kemarin. Aku bingung, Baron, apa sebetulnya yang kaumau? Kau hanya bangkit dari ujung kasur tempatmu duduk sila lantas memandang semacam pola di dinding yang telah kita susun dalam beberapa jam. “Ternyata si pembunuh menggunakan tangan Amung Gagu. Tangan warga lokal.”
“Itu yang menjadi masalah.” Kata Nuwas, “Kau tahu sendiri kondisi Amung Gagu. Aku sampai bingung sendiri bagaimana kita dapat menggali informasi sebanyak-banyaknya darinya.”
Baiklah, kau meminta jadi kupenuhi. Akan kembali kujelaskan padamu soal Amung Gagu. Amung Gagu adalah remaja, yatim dan putus sekolah, yang menjual bensin eceran di depan rumahnya. Yang membedakan dari remaja lain dan menyulitkan penggalian informasi adalah keadaannya, sebab ia bisu. Ia tidak bisa berbicara sejak kecil. Beberapa tetangga bercerita bahwa itu adalah bawaan lahir yang disebabkan oleh kelainan bla-bla-bla, beberapa lainnya bercerita bahwa Amung Gagu kecil sering dipaksa menggigit lidahnya sendiri oleh mendiang ayahnya yang kejam, pemabuk dan penjudi—sehingga Amung Gagu mengalami semacam trauma dan membuatnya tidak mau bicara. Meski demikian, ia masih mau dan bisa mendengar.
“Semua yang telah kususun adalah omong kosong.” Katamu, “Tidak ada yang benar-benar bisa membawa kita ke depan batang hidung si pembunuh.”
Ah tahi! Aku tahu itu, hatimu yang memerintahkan kau berbicara semacam itu.
Nuwas hanya diam saja saat kau merasa bahwa apa yang telah kau pikirkan adalah sia-sia. Ia pernah menjelaskan padamu, bahwa sepertinya ada lebih dari satu kepribadian di dalam dirimu, —aku rasa tidak. Bukankah begitu, Baron?
Itulah sebabnya, kata Nuwas, suatu waktu kau adalah orang yang ambisius dan pemberani, lain waktu kau seperti saat ini —cengeng dan semacam tidak punya gairah —Ini semua ulah perasaan yang muncul di hatimu, kau tahu itu. Kau harus mengabaikannya, Baron. Kau harus sadar bahwa hatimu seringkali membuat kita lambat dan tersesat.
Ini hanyalah soal waktu, kata Nuwas kepadamu, aku ingat ia berbicara semacam itu. Nuwas dan orang-orang di sekitarmu paham betul bahwa setelah ini, kau pasti akan baik-baik saja—kita akan baik-baik saja.
Ada yang mengetuk pintu indekosmu dan membuat kalian menengok ke arah pintu. Kau dan Nuwas hanya mengobrol lewat tatapan mata soal siapa yang harus mengintip. Wajahmu semacam mengalami perubahan ketika ada yang mengetuk pintu, semacam ada ketakutan yang lahir di indekos itu. Mungkin karena kau takut dibuntuti atau semacamnya—Kau yang takut, aku tidak. Kau takut sebab tidak ada orang asing yang tahu di mana indekosmu. Kalau ada yang bertanya soal di mana indekosmu, kau selalu menjawab di dekat Cirangkong Wetan. Memang betul di dekat Cirangkong Wetan, tetapi itu bukan jawaban yang utuh. Alih-alih menjelaskan, kau malah membuatnya bingung.
“A Baron....” Kata seseorang di luar sana, suaranya seperti anak kecil. Dan memang anak kecil.
“Ah, si Wardi.” Katamu, atas perintahku, dengan nada rendah dan volume yang kecil setelah mendengar suara seseorang di luar sana. “Kau duduk saja dan tidak usah banyak bicara.” Katamu memerintah Nuwas, tentu atas perintahku.
Kau lantas berdiri dan membuka pintu dengan tangan kirimu. Kini kau berhadapan dengan si Wardi, tetanggamu yang punya bisnis keluarga yakni berternak lele.
“Satu kilo?” Tanyamu, atas perintahku, kepada si Wardi. Anak kecil berumur dua belas tahun dan berambut keriting itu hanya mengangguk. Anggukan itu lantas disambut oleh gerakan tubuhmu yang-hampir-lincah untuk mengambil sebuah ember besar di suatu sudut kamar mandi indekosmu. Badanmu yang gempal itu sedikit berkeringat saat membawa ember itu ke depan indekos, tempat si Wardi menunggu sekilo cacing pita yang baru saja ia bayar untuk dijadikan pakan bibit lele milik keluarganya.
Setelah proses jual-beli selesai, kau membawa ember berisi cacing pita itu kembali ke tempat semula. “Kau masih jualan cacing pita?” Tanya Nuwas kepadamu selagi kau berjalan.
Kau, atas perintahku, hanya mengangguk sembari menyimpan uang dua puluh lima ribu rupiah hasil menjual cacing pita ke mejamu. “Kau tahu?” Katamu pelan-pelan, “Ada persamaan mendasar antara menjadi detektif partikelir dan penulis —bahwa kedua pekerjaan itu tidak akan membuatmu sugih dan dihormati. Aku tahu penulis juga miskin sebab aku punya kawan seorang penulis lepas. Dulu aku punya cukup uang saat aku masih menerima kasus perselingkuhan atau semacamnya tetapi itu betul-betul membosankan. Bukankah uang bukan segalanya, Nuwas? Yang paling penting kan kesenangan batin.”
Tahi kucing! Ke-se-nang-an ba-tin, katamu? Tahi! Lagi-lagi soal batin dan hati dan omong kosong semacamnya. Batinmu itu, Heh! Kau harus dengar ini, Baron —Batinmu itu, tidak bisa kaugunakan untuk membayar uang sewa indekos! Kutanya agar kau paham ini —pernahkah kau, dengan kesadaran penuh, membayar uang sewa indekos dengan batin? Tidak, kan, Baron? Tidak!
Menyebalkan betul hatimu itu, Baron, ia merepotkan —bukan cuma merepotkanmu, tapi merepotkanku juga!
Dan yang paling tahi, pada masa-masa paceklik sehingga hidupmu susah, siapa yang kau ajak berdiskusi? Si-a-pa?! Hatimu? Bukan, Baron! Aku!
Aku yang memikirkan bagaimana caranya agar kau punya uang, agar kau bisa makan—hanya aku! Hatimu ke mana?! Tidak berguna!
Ia hanya diam dan menyuruhmu ber-sa-bar. Aku akan terus mengingatkanmu, Baron, bahwa bersabar, misalnya, hanya akan menanamkan harapan di hatimu. Dan harapan, seperti kata seorang filsuf dari dataran Eropa, sudah barang tentu hanya akan membuahkan sengsara. Siapa yang kerepotan jika kau sengsara? Aku lagi, Baron. Aku. Pikiranmu sendiri —sesuatu yang terus berbicara di kepalamu.
Aku juga akan terus mengingatkanmu, Baron, bahwa kita telah lama bersepakat untuk hidup sebagai seorang pesimistis. Setelah Asih mati, kita tidak punya harapan untuk bahagia, Baron. Maka kemudian kita bertahan untuk terus hidup sebab setelah kau mampus—setelah kita mampus, kematian tidak menjanjikan kebahagiaan kepada kita. Maka kita, dengan sungguh-sungguh, terus mencari kebahagiaan di sini meski kita tahu kita tidak punya kesempatan itu. Kita bukanlah mereka yang optimis—yang mengakhiri hidupnya sendiri dan selalu percaya bahwa setelah kematian akan ada kebahagiaan. Kita tidak. Maka kita bertahan. Sebaik-baiknya bertahan.
Ya! Lagi-lagi kau tidak mendengarkan celotehku, kau mungkin menganggap bahwa suara-suara di kepalamu hanya bunyi-bunyian sumbang dan tak berarti. Kau malah melanjutkan celotehmu, “Dan kau tahu? di sini aku lebih dikenal sebagai penjual cacing pita ketimbang detektif partikelir. Itu sedikit membuatku tenang tentu saja, semacam ada penyamaran yang tidak disengaja.”
Bodo amat, kataku. Kau mendengar itu, kan, Baron? Nuwas tidak begitu peduli dengan celotehmu ia bahkan hanya duduk di...
Nuwas beranjak dari tempat duduknya. Sialan, aku tidak mengira itu. Nuwas lantas menutup pintu indekosmu. “Tapi aku belum selesai.” Kata Nuwas, “Maksudku, masih ada informasi yang belum kusampaikan padamu.”
“Beberapa yang kaupikirkan soal Yuyun Jayanti itu ada benarnya,” Ujar Nuwas, “Yuyun Jayanti ternyata benar-benar tinggal dan bekerja di Bekasi, tapi itu tahun lalu. Yuyun Jayanti yang digantung itu ternyata orang Legok, tidak jauh dari Cirangkong Wetan. Kita perlu ke sana, ke rumah duka dan bertanya banyak hal kepada orang tua si Yuyun Jayanti.”
Tak lama setelah Nuwas merampungkan kalimatnya, kau, atas perintahku, kembali menatap dan menyusun ulang lalu mencoret beberapa hal di tembokmu. Wajahmu menggambarkan bahwa ada semacam rasa penasaran yang lahir kembali. Ya! Aku suka ini! Kau semacam menemui pola yang baru, kau merasa jauh beberapa langkah di depan orang-orang untuk mengejar si pembunuh. Kita unggul, Baron. Kita unggul. Kau tahu itu, dan kausenang mendengarnya.
“Kau saja yang pergi ke sana.” Perintahmu, atas perintahku, kepada Nuwas, “Aku harus bertemu dengan orang lain.”
“Siapa?” Tanya Nuwas. Amung Gagu, jawabmu dengan singkat dan jelas.
Nuwas berdiri dari duduknya, “Aku nurut padamu. Aku akan ke rumah Yuyun Jayanti untuk menggali informasi. Tapi nanti, ada beberapa paket yang harus kukirim. Pun, aku harus bertemu seseorang.”
Kau hanya mengangguk. Kini kau, dengan teleponmu, mencoba menghubungi Awang. Ada jawaban dari sana, “Ada apa?”
“Kita harus ke Amung Gagu.” Katamu, atas perintahku, “Amung Gagu yang memasang tali itu. Amung Gagu yang akan membawa kita menuju si pembunuh atau yang berhubungan dengan itu. Amung Gagu sepertinya, sedikit-banyak tahu soal siapa yang kemudian memakai tali itu untuk menggantung si Yuyun Jayanti.”
Awang menawarkan rencana lain, “Aku punya informasi yang lebih penting. Yuyun Jayanti ternyata memang bekerja di Bekasi, tapi itu tahun lalu. Yuyun Jayanti yang digantung itu tinggal di Legok. Kita harus ke rumahnya dan mencari informasi sebanyak mungkin.”
Ia tolol betul, Baron. Kau tahu itu merupakan jebakan dari si pembunuh agar kita jadi lambat. Cepat katakan padanya bahwa ia salah dan tolol, Baron! Cepat!
Kau menggenggam teleponmu dengan tangan kiri. Nah, seperti itu, kau harus berteriak padanya. Sesuai perintahku. Kau menempatkan mikrofon telepon itu tepat di depan mulutmu. Nah seperti itu, Baron.
Kau lalu berbicara, “Tidak usah, aku sudah mengutus seseorang.”
Tahi! kau tidak manut padaku. Kali ini kau malah terdengar soleh, Baron. Memang ini terdengar lebih baik tetapi Baron yang kukenal adalah pribadi yang tengil dan sombong. Kau harus ingat itu, Baron. Kau harus ingat. Aku mengingatkan ini agar orang-orang tidak menganggapmu berubah dan gila, atau bertaubat.
Ah! Jangan-jangan kau akan bertaubat, Baron? Jangan bilang kau akan jadi penceramah!
Aku tidak sanggup kalau harus menyusun naskah khutbah jumat atau kalimat nasehat. Aku juga tidak sanggup kalau harus memikirkan nama-nama bayi yang indah untuk jemaatmu. Sungguh, aku tidak sanggup.
Maka kumohon, janganlah menjadi penceramah, Baron. Kalaupun iya, jangan sekarang. Ada pembunuhan yang harus kau—yang harus kita ungkap. Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan perkara-perkara akhirat dan pengabdian semacam itu.
**
LUAS adalah kata yang dapat menggambarkan halaman rumah si Amung Gagu. Sementara rumah itu kecil dan dibangun dari kayu dan bilik serta sedikit tembok di atas pondasinya. Remaja enam belas tahun itu tinggal bersama neneknya sebab ibunya meninggal beberapa tahun silam akibat sakit paru-paru. Sedangkan ayahnya meninggal saat Amung Gagu menjelang sepuluh tahun.
Amung Gagu dalam kacamatamu (Itu perumpamaan, Baron. Aku tahu betul kau tidak memakai kacamata. Tapi itu kata yang kugunakan untuk menjelaskan ini. Baiklah.) adalah seorang remaja yang berhak dan punya alasan untuk mengeluh, tapi dia memilih untuk tidak melakukannya. Manusia macam apa yang lahir dari keluarga yang tidak harmonis lantas bisu dan tidak sekolah sehingga tidak bisa membaca dan menulis namun masih mau melanjutkan hidupnya? Saking getir dan ngilu kehidupannya, ia pernah dijadikan objek puisi oleh seorang penyair. Meski memang penyair itu dibenci banyak orang karena, seakan-akan, hanya memanfaatkan si Amung Gagu. Penyair itu, konon katanya, hanya memeras apa yang Amung Gagu dapatkan dari kesabarannya lantas pergi begitu saja.
Kau dan Awang berdiri di samping lemari di dekat pagar rumahnya Amung Gagu. Lemari itu tanpa pintu dan pada setiap kabinetnya tersusun botol-botol kaca berisi satu liter bensin premium. Pada setiap liter yang dijual, dari sanalah Amung Gagu dapat uang untuk menghidupi ia dan neneknya. Berdirinya kalian di sana juga merupakan sebuah respon setelah hampir setengah jam bertanya kepada Amung Gagu soal siapa yang menyuruh Amung Gagu melakukan itu. Tidak ada jawaban tentu saja, yang ada hanya semacam geremengan yang tidak jelas dan bervolume kecil.
“Mungkin karena kita terlalu terburu-buru,” Kata Awang, “Orang sabar macam Amung Gagu hanya bisa ditaklukan dengan kesabaran pula.”
“Kau pasti setuju, Wang.” Katamu dengan sedikit berbisik, “Bahwa orang yang menyuruh Amung Gagu melakukan itu pantas kauinjak mukanya dengan sepatu keras milikmu. Maksudku, Amung Gagu itu tidak banyak mengerti soal apa yang ia lakukan dan konsekuensinya. Hidupnya begitu keras dan pahit. Ketika ada kesempatan untuk memiliki banyak uang, ia pasti akan mengambilnya. Aku setuju padamu, bahwa kita, perlu kesabaran lebih untuk berkomunikasi dengannya. Bersyukur aku kepada Tuhan sebab Amung Gagu masih bisa mendengar dan cukup mengerti,” Katamu. Kau memberi jeda lalu berbicara seolah Amung Gagu ada di depan matamu, ”Malang sekali nasibmu, Amung Gagu. Orang-orang di sekitar sini tidak peduli kepadamu. Atau paling tidak, menyuruh anak-anak mereka untuk berhenti mengolok-ngolokmu yang tidak pandai berbicara.”
Apa? Bersyukur kepada Tuhan, katamu? Sejak kapan kau mendekat kepada Tuhan? Sejak kapan, Baron?
Janganlah kau merasa alim dan bijak, Baron. Kau ini sudah tidak pernah sembahyang, kau juga tidak pandai membaca kitab suci. Jika bukan karena kemampuanku mengingat sesuatu, kau tidak akan pernah mandi besar selepas mimpi basahmu yang menjijikan tempo hari.
...Baiklah, terserahmu.
Rokoknya Awang hampir menjadi puntung saat ia membuka suara, “Aku akan pastikan bahwa Amung Gagu hanya akan berakhir sebagai saksi. Aku dan banyak orang di kepolisian sepertinya tidak akan pernah tega untuk menjadikan Amung Gagu sebagai tersangka.”
Orang itu, Awang, di matamu adalah anomali. Sebab ia, meski mempunyai kedudukan dan jabatan, adalah manusia yang jujur dan berintegritas. Meskipun, katamu atas perintahku sekali waktu, itu tadi belum cukup tanpa kecerdasan yang mumpuni. Sebab itulah, kau dan aku tidak pernah bosan untuk membantu Awang, dan kita, seringnya bermain-main dengan buron. Dunia yang tidak adil dan penuh kejahatan ini semacam arena bermain-main untuk kita. Memang usia kalian tidak terlalu jauh, namun terasa sekali bahwa ada perasaan saling menghormati walau tidak nampak dan terhalang gengsi. Ya! Aku tahu itu.
“Aku sebetulnya punya banyak kecemasan, Wang.” Katamu cepat dan sulit dihentikan, “Salah satunya adalah soal nasib orang-orang di sekitar Yuyun Jayanti setelah ini. Kau pasti mengerti, bahwa akan banyak trauma yang muncul setelah ini kepada keluarga korban. Si pembunuh itu cerdik saat memutuskan memilih Amung Gagu sebagai pion, juga memperkosa si Yuyun Jayanti sebelum membunuhnya. Si pembunuh itu, mengerti betul, bahwa negara ini belum cukup memihak kepada korban perkosaan macam Yuyun Jayanti. Aku selalu percaya pasti akan lahir trauma-trauma yang baru.”
Awang hanya mengangguk.
“Trauma-trauma itu tidak akan hilang, Wang. Kau perhatikan saja si Nuwas.” Katamu cepat dan emosional, “Dia tumbuh di keluarga yang tidak hangat. Ayahnya tukang pukul, ibunya tukang selingkuh. Kau pasti dapat melihat bahwa ketakutan itu terus mengintilnya. Hingga sampai saat ini, ia belum berani untuk menikah, bahkan berpacaran sekalipun.”
Awang kembali mengangguk.
Amung Gagu keluar dari rumahnya dan menggenggam satu sendok besi di tangan kanannya. Amung Gagu melambai-lambai, mengajak kalian untuk mendekat padanya.
Kalian kini jongkok dan saling berhadapan. Amung Gagu, dengan hati-hati dan pelan-pelan mulai menarik garis dengan sendok di tanah dengan tangan kanannya. Ada harapan-harapan kecil yang lahir di kepala Awang dan juga di kepalamu —yang mana adalah aku. Kau tahu itu, Baron. Kita butuh sebanyak mungkin informasi dari Amung Gagu.
Garis satu dengan garis yang lain kini telah bertemu, bentuk yang tergambar adalah sebuah bintang dengan lima sisi.
“Ini apa?” Tanya Awang.
“Bintang,” jawabmu.
“Itu bintang, tolol!” Jawabku menambahkan.
Awang kembali bertanya dengan sedikit emosi, “Aku tahu ini bentuk bintang, tapi maksudnya apa?”
Amung Gagu bertepuk tangan satu kali dengan cukup keras sehingga membuat kalian menatapnya. Telunjuk Amung Gagu yang kiri menunjuk punggung tangannya yang kanan, kemudian menunjuk bintang yang barusan ia gambar. Kemudian menunjuk punggung tangannya lagi, lalu menunjuk bintang yang sama. Berulang-ulang.
“Apa maksudmu?” Awang bertanya kepada Amung Gagu. Lalu disambut pertanyaan lain darimu, atas perintahku, tentu saja, “Tato, ya?”
Amung Gagu mengangguk perlahan. “Jadi.” Kata Awang mencoba menyimpulkan, “Orang yang menyuruhmu itu punya tato bintang di punggung tangan kanannya?”
Amung Gagu kembali mengangguk. “Manéhna ngomong maké basa sunda?” Tanyamu, atas perintahku, dengan fasih dan logat yang khas dalam bahasa Sunda: Dia menggunakan bahasa Sunda?
Amung Gagu mengangguk cepat. “Naon deui?” Tanya Awang: Apa lagi?
Amung Gagu menggeleng dan berarti tidak ada lagi informasi soal si pembunuh darinya. Tapi, bagimu dan bagiku, itu adalah informasi yang lebih dari cukup.
HARI berikutnya, selepas mandi dan kegiatan-kegiatan domestik lainnya yang sama membosankannya, kau dan Awang bertemu di sebuah warung kopi di ujung utara Cirangkong Wetan pada siang menjelang sore. Mobil polisi yang terparkir di depan warung kopi itu Awang yang bawa. “Aku sudah bawa apa yang kau minta.” Ujar Awang kepadamu sambil makan indomie kuah lengkap dengan telur setengah matang, sawi yang sudah direbus terpisah, dan gorengan udang yang dicocol ke sambal terasi. Awang kemudian mengeluarkan sebuah map dari ranselnya. Sementara kau, yang sedang sibuk makan tempe goreng yang dicocol ke sambal kacang, hanya mengangguk.
“Ada berapa orang?” Tanyamu sambil membersihkan tangan kirimu yang lumayan berminyak dengan tissue, atas perintahku, tentu saja.
Sebentar, Baron. Aku ingin bilang bahwa aku muak padamu. Tanganmu yang berminyak itu sungguh mengganggu, Baron. Kau harus mengusapnya, kau harus membersihkannya. Lain kali kalau kau masih begitu, kuperintahkan agar tangan kirimu untuk melumuri penismu dengan balsam geliga, tentu pada saat kau tertidur. Camkan itu, Baron. Suruh hatimu yang mungil itu untuk mengingat ancamanku, itu pun kalau ia sanggup melakukannya.
Awang membuka map itu, dikeluarkannya lima kertas biodata dengan masing-masing pas foto ukuran 3x6.
“Mereka adalah yang tangannya bertato bintang dan berbahasa sunda,” Ujar Awang sembari memperlihatkan satu per satu biodata itu kepadamu, “Aku tidak yakin bahwa pembunuhnya ada di antara mereka.” Kata Awang, “Meski kemungkinan-kemungkinan itu tetap ada.”
Kau, atas perintahku, mengubah arah dudukmu sehingga menghadap Awang, “Aku bukan bermaksud ingin menuduh suatu kelompok masyarakat, Wang.” Katamu tegas —Itu tadi bagus betul, Baron. Kau sedikit terlihat berwibawa saat mengatakannya, “Tapi kemungkinan besar si pembunuh itu pernah membunuh seseorang di masa lalu. Ini yang paling masuk akal dan beralasan, kita harus mulai dari daftar ini—daftar residivis kasus pembunuhan.” Kau mengambil satu tempe goreng dengan tanganmu, sebelum memakan ujungnya, kau mengatakan sesuatu, “Pembunuhan yang cukup rapi semacam itu pasti dilakukan oleh profesional atau yang berpengalaman. Ia telah merencanakan dengan baik sehingga tidak ada bekas, termasuk cairan sperma di vagina si Yuyun Jayanti.”
Sambil mengunyah tempe goreng dan menunjuk tumpukan biodata dengan tangan kiri, kau kembali menjelaskan, “Orang-orang ini.” Katamu, atas perintahku tentu saja, “Adalah yang sulit mendapatkan kerja dan uang. Perut lapar membawa mereka ke sini, Wang.”
“Mereka, menurut biodata ini, tinggal berjauhan.” Ujar Awang, “Si pembunuh bisa jadi adalah salah satu di antara mereka, mungkin juga mereka semua terlibat dan bersekongkol.”
“Kita mulai dari mana?” Tanya Awang setelah meneguk es teh manis yang mulai hambar sebab esnya mulai mencair, “Yang pasti,” Katamu, “Sebelum berangkat, kita harus menghitung kemungkinan-kemungkinan agar kerja kita efisien.”
Ya! Itu adalah urusanku, Baron. Kau beruntung memilikiku. Tidak seperti yang lain, kau beruntung. Kau harus sadar itu, Baron. Bahwa banyak orang-orang tolol di luar sana sehingga menghasilkan keturunan yang tolol pula. Maka dari itu, Baron. Kusarankan agar kau kawin dan punya banyak anak. Kusarankan delapan puluh anak dari tujuh bini pada kurun waktu sepuluh tahun. Tubuhmu, sepertinya, masih sanggup melakukan itu di usiamu yang hampir setengah abad. Sehingga, sebelum kau mampus, sebelum aku mampus —kita akan mewariskan pemikiran semacamku pada anak-anakmu —pemikiran cerdas, modern, dan mantap. Sehingga anak-anakmu akan menghabisi orang-orang tolol itu.
Kita harus lebih serius merencanakan ini, Baron. Kita harus melakukan perubahan demi dunia yang lebih baik. Demi dunia tanpa orang-orang tolol.
Aku akan terus menawarkan rencana itu, Baron. Meski aku sadar betul bahwa kau, sebetulnya, hanya ingin kawin dengan Asih dan Asih, sayangnya, telah lama mati.
Awang menepuk pundakmu, “Aku akan ikut dengan hasil kalkulasimu.”
“Brengsek kau, Wang.” Katamu, atas perintahku, “Pundakku jadi bau terasi.”
Matamu yang bersih itu menangkap sesuatu dari arah jalan yang lain. Sesuatu itu adalah Nuwas dengan motor bebeknya, “Dia akhirnya datang,” Katamu sambil menunjuk Nuwas dengan bibirmu yang mengkilap oleh minyak.
Anjing! Aku benci betul bibirmu yang berminyak itu, Baron —Dengarkan ini, saat kau tidur nanti, kuperintahkan dengan sungguh-sungguh agar tangan kirimu melumuri penismu, yang kecil itu, dengan stempet. Biar kau mengira bahwa kau telah mimpi basah dengan adegan paling tolol sedunia.
Nuwas memarkirkan motornya tepat di samping pintu mobil polisi. Ia berjalan lumayan cepat menuju kalian sambil melepas dua kancing kemejanya dari atas. Kau membuka obrolan, “Kau dapatkan sesuatu dari rumah dan keluarga Yuyun Jayanti?”
Nuwas menganggukan kepalanya, namun ia memasang wajah gelisah lalu berbicara dengan sedikit terbata-bata, “Seseorang membunuh Asrul Darajat.”
RUMAH yang catnya kusam dan tua itu sudah dikerubungi banyak warga saat kau, Awang dan Nuwas sampai di sana. Rumah itu terletak persis di samping kebun mangga arumanis, tentu dekat dengan tempat penemuan mayat Yuyun Jayanti di beberapa hari yang lalu. “Ini cukup menarik.” Katamu, atas perintahku, ketika kau mulai melangkah ke dalam rumah itu. Sementara Awang, sibuk menghubungi tim forensik dan anak buahnya yang lain untuk sekadar memasang garis polisi dan mengamankan area TKP. Tidak ada tanda-tanda pengerusakkan pintu atau jendela atau apa pun itu yang cukup muat sebagai jalan masuk bagi si pembunuh. “Ini sih kerjaan pembunuh yang berpengalaman.” Kata Awang setelah sambungan telepon terputus, “Orang itu tidak meninggalkan jejak kaki atau semacamnya. Ia bisa masuk dan keluar tanpa meninggalkan sesuatu.”
“Tidak, Wang.” Sanggahmu —Ya! Bagus sekali, Baron. Kau terlihat keren betul saat menyanggahya, “Orang itu meninggalkan sesuatu.” Katamu sambil menunjuk sesuatu dengan tangan kirimu—sebuah gambar bintang berukuran kecil yang dibuat dengan bolpoin merah menyala tepat di samping daun pintu suatu kamar. Sementara itu, Nuwas hanya diam. Ia terlihat tidak siap dengan sesuatu yang akan terjadi.
“Ini kamarnya.” Kata tetangga atau keluarga atau siapapun itu sambil menunjuk pintu yang sama, “Pak Asrul Darajat di dalam.”
Kau, dengan tangan kirimu, membuka pintu itu. Awang dan Nuwas berada di sisi kiri dan kananmu. Dari tempat kalian berdiri, terlihat jelas Asrul Darajat yang sudah terbujur kaku dan mengenaskan.
Bagaimana tidak: ia mati di atas kasur dengan mulut yang masih menganga, mata yang melotot dan tanpa busana. Masing-masing tangan dan kakinya diikat dengan tambang plastik yang berdiameter cukup besar ke setiap sudut ranjangnya. Ia lebih mirip seperti katak yang naas —katak yang menjadi bahan percobaan anak-anak sekolah menengah atas sewaktu pelajaran biologi atau semacamnya. Apalagi, terdapat luka sayatan yang cukup besar di kedua tangannya. Sayatan yang dimulai dari telapak tangan hingga ke bawah ketiaknya. Sayatan itu membentuk garis lurus yang tidak terputus. Merah, basah dan menganga.
Kau, Awang dan Nuwas mendekat ke tubuh Asrul Darajat. Awang melipat tangannya sendiri, Nuwas hanya bengong dan berdiri. Sementara kau, atas perintahku, membungkukkan badanmu kemudian mendelik. Kalian menemukan kekejian yang lain, yakni lubang kencingnya Asrul Darajat dijejali dengan banyak biji cabe rawit.
Anjing, kau mengumpat, atas perintahku tentu saja. Kali ini lebih terasa kekesalanmu. Ya! Aku tahu dia juga kesal, Baron —Aku tahu hati kecilmu itu kesal.
“Orang tua ini disiksa terlebih dulu.” Kata Awang mencoba menjelaskan, “Kemudian si pembunuh menusukkan benda tajam ke sisi kiri perutnya. Bisa saja pisau atau golok atau belati.” Katanya sambil menunjuk bekas luka yang menganga dan mulai dikerubungi lalat. Lubang itu penuh darah yang mulai kering, darah yang mengalir ke kasurnya yang berwarna putih. Bau amis yang menjijikan dapat tercium dengan jelas. Menjijikan betul, Baron. Kau harus tutup hidungmu itu dengan tangan. Aku tidak bisa berpikir jernih kalau bau semacam ini terus menusuk-nusuk ke indramu.
Nuwas membalikkan badannya, mula-mula ia hanya berjalan namun kemudian ia berlari ke luar rumah sambil menutup mulutnya dengan tangan. Nuwas terlihat sangat berusaha agar muntahnya tidak berceceran di sembarang tempat.
“Brengsek memang.” Awang mengumpat sementara kau nampak begitu heran —Aku tidak memerintahmu untuk memasang wajah heran, Baron. Janganlah begitu, orang-orang akan mengira bahwa kau adalah orang tolol. Ya! Terserah kau saja.
Kalian berdua berjalan ke luar menuju ruang tamu lantas duduk di semacam sofa. Di depan kalian adalah meja kayu yang tidak terlalu tinggi. Di atas meja itu ada dua toples kacang dan permen yang dibiarkan terbuka. “Si pembunuh itu sengaja meninggalkan jejak.” Katamu sambil menunjuk bercak darah yang ada di toples permen dengan tangan kirimu. Kau melanjutkan, “Aku curiga, setidaknya ada lebih dari dua orang yang terlibat di pembunuhan Asrul Darajat.” Katamu, “Tapi aku belum yakin.”
Betul, aku belum yakin, Baron. Kita butuh lebih banyak waktu untuk menyimpulkan.
“Terlihat sungguh terencana.” Kata Awang, “Termasuk untuk sengaja meninggalkan jejak. Sehingga seakan-akan bahwa mereka itu pembunuh amatir. Membuat kita sedikit-banyak berpikir bahwa ini semua adalah ulah orang yang belum berpengalaman. Namun jika dilihat dari bagaimana orang atau orang-orang itu menghabisi Pak Asrul Darajat, mencurigai pembunuh bayaran atau semacamnya akan lebih masuk akal.” Awang mengeluarkan sebatang kretek dari bungkus yang ia simpan di saku celananya, rokok itu ia jepit dengan jari, “Gambar bintang berukuran kecil di dekat daun pintu itu sangat membantu, kita juga sudah punya daftar orangnya.” Awang membakar rokoknya, “Setidaknya, si pembunuh Yuyun Jayanti dan Asrul Darajat memiliki kesamaan yang entah disengaja atau tidak. Tapi aku belum berani untuk menganggap ini adalah deretan kasus pembunuhan berantai yang saling berkaitan. Bisa jadi hanya kebetulan. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan banyak hal.”
Kau perhatikan itu, Baron? Begitulah caranya membacot dengan keren dan berwibawa. Kau harus menirunya, kau harus. Kau harus merokok, mungkin. Jika kau merokok, kau akan terlihat seperti detektif betulan. Ide yang bagus, bukan?
Tetapi aku baru sadar. Bahwa merokok akan menyita banyak waktu —waktumu dan waktuku. Kita akan menjadi lambat dan menyebalkan. Sedikit-sedikit sebat, sedikit-sedikit mlepus. Lupakan saja perihal merokok.
Pokoknya dengarkan ini, Baron. Kau harus terlihat keren saat berbicara. Sehingga orang-orang akan mempercayaimu. Kau harus sadar bahwa begitu kontras saat orang cupu dan gembrot macam dirimu dapat berdialektika dengan begitu ajaib. Kau harus sadar itu dan kau harus mengubahnya sehingga kita akan diingat sebagai sepasang yang keren.
Nuwas kembali masuk lantas duduk di satu kursi yang terpisah, “Muntahku tadi banyak sekali. Aku tidak mau lagi melihat mayat dari dekat, apalagi korban pembunuhan sadis.”
“Kapan dan oleh siapa mayat Pak Asrul Darajat ditemukan?” Tanya Awang kepada Nuwas yang lebih dahulu mendengar kabar pembunuhan ini. “Aku sudah bertanya ke beberapa orang.” Jawab Nuwas cepat, “Mereka menjawab, Pak Badrunlah yang pertama kali melihat mayatnya saat ia mau mengembalikan alat pancing yang ia pinjam dari Pak Asrul Darajat. Pak Badrun menyadari bahwa tidak ada jawaban saat memanggil Pak Asrul Darajat berulang kali, lalu ia masuk ke rumah dan yang paling membingungkan adalah pintu rumah ini telah terbuka saat Pak Badrun datang.”
Kau membuka suara, atas perintahku, ya! Kau harus berbicara. Kau itu orang cerdas, Baron. Dan orang cerdas selalu butuh untuk diperhatikan, “Pak Badrun di mana sekarang?”
Nuwas dengan jelas dan pelan-pelan menjawab, “Di rumahnya. Ia masih ketakutan dan terus-terusan muntah. Keluarganya yang memberitahu orang-orang. Dan aku, mengetahui hal ini saat akan menemui kalian. Ketika aku melewati rumah ini, orang-orang sudah berkumpul namun tidak ada yang berani mengintip.”
“Lagi-lagi, sengaja membuka pintu agar mayat Pak Asrul Darajat mudah ditemukan. Benar-benar brengsek.” Ujar Awang setelah menghembuskan asap rokoknya.
Kau melihat Awang, Baron? Begitulah caranya mengumpat. Begitulah caranya. Keren betul, kau harus akui itu. Breng-sek! Ditekan. Ada penakanan di sana. Beratkan juga suaramu, jangan malah cempreng. Nanti kau malah ditertawakan.
Tim forensik datang, garis polisi pun dibentangkan. Seorang bawahan Awang menyuruh kau dan Nuwas untuk keluar dari rumah. Awang mengatakan padanya bahwa kalian harus tetap di sini. Aku membutuhkan mereka, kata Awang. Dan kau harus menjotosnya, Baron. Polisi muda yang sok tahu macam dia perlu kauberi bogem yang ajib.
Sementara anak buah Awang memeriksa lebih detail semua hal di TKP sebelum kemudian memasukkan jasad Asrul Darajat ke kantong mayat, kau bertanya kepada Nuwas, “Katakan padaku apa yang kaudapatkan soal Yuyun Jayanti.”
“Kemarin,” Kata Nuwas, “Selepas mengantarkan beberapa paket, aku mampir ke Legok. Aku tidak cukup nyali untuk bertanya langsung kepada keluarga soal hari-hari Yuyun Jayanti sebelum mati. Jadi yang kulakukan hanya nongkrong di warung kopi dan menguping orang-orang bercerita selama hampir satu jam.”
Kau melipat kaki kirimu ke kanan, “Lantas?”
Nah, begitu. Walau pahamu besar, tapi kau harus melakukannya agar keren.
“Ini yang terjadi: Beberapa minggu sebelumnya, ada orang yang mengaku sebagai Ibu Widya, manajer personalia tempat Yuyun Jayanti dulu bekerja. Katanya, melalui sms, Ibu Widya menawarkan pekerjaan ke Yuyun Jayanti di Jakarta. Ibu Widya bilang bahwa akan ada orang yang menjemput Yuyun Jayanti di jalan Astana Anyar pada jumat sore. Tidak ada kabar ke keluarga hingga mayat Yuyun Jayanti ditemukan Pak Asrul Darajat.”
“Kalau begitu.” Katamu, “Bisakah kita melacak si pembunuh lewat nomor telepon?”
Awang menggeleng, dahinya meleleh dan matanya berubah hampir sayu, “Itu masalahnya. Kita tidak punya nomor telepon si pembunuh. Pun, telepon genggamnya Yuyun Jayanti tidak pernah ditemukan di rumah atau TKP.”
Siapa yang menyuruhmu bertanya begitu, Baron? Kau terlihat tolol. Sungguh, kau terlihat tolol. Kau membuatku malu.
Awang mengetuk-ngetukan telunjuknya ke pahanya sendiri. Ia lalu mematikan rokoknya meski masih panjang, “Kita harus mengejar orang-orang itu.”
Nuwas memasang wajah heran, kau cermati ia begitu heran, ia bertanya dengan hidung hampir menciut, “Siapa?”
“Si pembunuh.” Timpalmu kemudian berdiri dari dudukmu. Nuwas memandang wajahmu dari bawah, “Orang-orang yang fotonya ada di tembok indekosmu?”
“Bukan.” Jawabmu dengan cepat dan membentak, atas perintahku, “Kau jangan mempermalukanku dengan membahas itu. Semua prediksiku keliru. Orang-orang itu tidak bersalah, sepertinya.”
Lagi-lagi. Hatimu mengambil alih sehingga kau mengakui celamu. Kau malah jadi terkesan soleh, Baron. Hatimu memang brengsek, Baron. Breng-sek. Kuberi penekanan di sana agar kau paham bahwa pikiranmu ini benar-benar kesal.
“Lalu siapa?” Tanya Nuwas, lagi. “Aku juga tidak benar-benar tahu siapa orang-orang itu.” Ujar Awang sambil membersihkan tangannya. Awang berdiri lantas kembali memakai jaket kulitnya, “Kau mau ikut, Nuwas?”
Nuwas hanya mengangguk perlahan. Kau berujar, “Kita akan berangkat malam ini. Dan tentu tidak dengan mobil polisi. Dan kau,” Katamu kepada Awang, “Jangan bertanya soal alasannya.”
Lumayan. Kau cukup keren, Baron. Akan lebih keren, tentu saja, bila hatimu tidak terus memaksamu untuk menjadi soleh
WAKTU menunjukkan pukul sembilan malam. Cirangkong Wetan dingin betul sehingga Awang memakai jaket yang lebih tebal dari biasanya. Kau hanya berdiri sambil memeriksa ransel milikmu yang kecil namun penuh dengan barang-barang yang membuat malaikat pun bingung mengapa kau membawa barang-barang itu. Sementara Nuwas, masih heran dengan sesuatu yang terparkir di hadapannya.
Setelah beberapa kali menahan diri, akhirnya Nuwas bertanya juga, “Bukankah sebaiknya kita menggunakan mobil polisi?”
Kau sontak mendelik, “Kau ini tolol atau bagaimana?!”
Mendengar respon semacam itu, Nuwas memasang wajah kaget—wajahnya persis seperti dulu saat ia ditampol hansip yang kesal sebab terus-terusan ditanya oleh Nuwas soal alamat seseorang ketika ia sedang mengirim paket. Awang—yang lebih dulu mendengar pertanyaan yang sama darimu pada dua atau tiga tahun yang lalu—menjelaskan kepadanya, “Sebab,” Kata Awang sembari menggosok-gosokan telapak tangannya agar hangat, “Kalau kita pakai mobil polisi, kita akan dicurigai. Lebih-lebih kita akan masuk ke kandang penjahat.”
“Lantas kenapa harus mobil ini?” Tanya Nuwas sambil menunjuk mobil Gran Max yang pada bodysampingnya terdapat foto seorang bapak-bapak-tua-berpose-sip lengkap dengan slogan: Bersih, Merakyat dan Jujur. Tanpa nama, tanpa tulisan lainnya. Hanya foto dengan slogan. Mobil itu adalah mobil operasional karang taruna hasil hibah dari seorang politikus yang gosip-punya-gosip akan maju dalam pilkades selanjutnya. Mobil itu sedang diisi bensinnya oleh Amung Gagu, tepat di depan rumahnya.
“Kalau itu aku tidak paham. Tanya saja ke Baron Kédé,” Jawab Awang. Sementara mereka sibuk mengobrol, kau kembali memastikan soal siapa si pembunuh dari kelima orang yang ada di berkas kepada Amung Gagu selagi ia mengisi bensin. Tidak ada jawaban lebih detil dari Amung Gagu selain bahwa si pembunuh itu mengenakan topeng hitam dan berlubang tepat di mulut, hidung, dan matanya.
Kalian kini di dalam mobil. Awang yang menyetir dan kau duduk di sampingnya. Sementara Nuwas duduk di kursi belakang bersama barang-barang yang kalian bawa. Mesin mobil dinyalakan. Lampu pun demikian. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang pengejaran yang kalian lakukan. Selain Amung Gagu, orang-orang di kepolisian dan kepala kantor pos tempat Nuwas bekerja. Tentu, kepala kantor pos tahu hal itu dari Awang. Awang yang menjelaskan bahwa besok dan mungkin beberapa hari ke depan Nuwas tidak akan masuk kerja. Kepala kantor pos itu hanya manut meski sedikit heran mengapa bisa anak buahnya, yang culun dan sering berak setelah briefing pagi itu, terlibat operasi pengejaran semacam ini.
“Kita mulai dari mana?” Tanya Awang saat beratus-ratus meter sebelum keluar dari Cirangkong Wetan. Kau kemudian menunjuk salah satu foto di berkas yang kalian bawa dengan tangan kirimu, “Orang ini tinggal di sekitar pasar tradisional Kahuripan, di ujung utara Bogor. Kita ke sana.”
Awang membelokkan mobil itu ke kiri pertigaan. Jalanan sepi dan lengang itu lurus menuju gerbang tol dalam setengah jam. Kalian menuju Bogor sedikit ngebut dengan mobil operasional hasil hibah dari seorang politikus yang narsis.
Sebab hening adalah ancaman saat berkendara karena membawa kantuk, maka Awang menyetel lagu di pemutar musik yang ada di mobil. Mobil ini bukan miliknya, jadi musik-musik yang tersimpan di flashdisk pun bukan seleranya. Awang sesekali tertawa, sebab, yang keluar dari pemutar musik di dalam mobil adalah pidato-pidato kenegaraan atau semacamnya dalam bahasa indonesia dan melayu. Orang yang sebelumnya mengendarai mobil ini mungkin pengin betul jadi orator ulung. Bisa jadi si politikus, bisa jadi salah seorang pemuda di karang taruna. Sebab geli sendiri, Awang pun mengganti ke lagu selanjutnya, meski sekali waktu ia mendengarkan satu audio pidato hingga rampung. Sementara kawan-kawanya, kau dan Nuwas, tertidur dengan cukup pulas.
Dan kau mungkin bertanya: Mengapa bisa aku, sebagai pikiranmu, menyadari ini sementara tubuhmu tertidur? Aku malas menjelaskannya sekarang, Baron. Esok hari saja, akan kutunjukkan sebuah jurnal penelitian yang telah lama kuunduh di teleponmu sewaktu kau bengong.
AC mobil yang mati membuat kalian terbangun karena gerah. Ini masih pukul sebelas malam, Baron. Mobil ini berhenti di sebuah pom bensin dan bukan di area jalan tol. Perjalanan masih satu atau dua jam lagi kalau kata google maps sebab sedikit macet dan tidak lewat tol. Tidak ada Awang di dalam mobil, hanya kalian berdua. Sepertinya Awang sedang ke toilet atau ke kantin atau ke mesjid.
“Aku...” Kata Nuwas kepadamu, “Sebetulnya bingung kenapa kau datang kepadaku di hari-hari yang lalu untuk memintaku mencari tahu soal Yuyun Jayanti. Aku bingung kenapa kau mau membantu Awang menyelesaikan kasus ini.”
Kau hanya melirik Nuwas. Kau tidak berbicara sedikit pun. “Aku juga mau berterus terang,” Kata Nuwas lagi. Memang, pada jam-jam seperti saat ini, kecenderungan manusia adalah bercerita tanpa mengenal batas.
“Naon?” Tanyamu setelah satu atau dua menit: Apa?, Kau melanjutkan, “Ada apa?”
“Aku sebetulnya sedang dekat dengan seorang gadis.” Kata Nuwas sambil menggaruk-garuk rambut belakangnya. “Namanya Nanda, Nanda Chaniago.”
“Orang Minang?”
“Heueuh.” Kata Nuwas: Iya.
“Bertemu di mana?”
“Di puskesmas Cirangkong Wetan. Manéhna dokter.” Jawab Nuwas: dia dokter.
Kau memutar tuas untuk membuka kaca mobil dengan tangan kirimu. Kau lalu memosisikan cermin persegi panjang di depan kepalamu agar dapat melihat wajah Nuwas dari pantulannya, “Kalian telah resmi berpacaran?”
“Sudah.”
“Ti iraha?” Tanyamu pelan-pelan: Sejak kapan?
“Empat bulan yang lalu.” Jawabnya.
Jadi inilah alasan mengapa Nuwas sering bersenandung Kambanglah Bungo, bisikmu menyimpulkan. Kau juga pasti ingat, tempo hari ia pernah bernyanyi Pulanglah Uda dengan penghayatan yang begitu dahsyat. Sementara kau tahu, sementara kita tahu, bahwa Nuwas tidak pernah punya Uda yang sedang merantau ke tanah orang. Kita mengira ia telah gila waktu itu namun kini semuanya masuk akal.
Kau mengetuk-ngetuk sudut spion dengan telunjukmu lalu kembali bertanya, “Akan menikah?”
“Mungkin.”
“Naha mungkin?” Tanyamu heran: Kenapa mungkin?
“Manéh apal, Baron.” Kata Nuwas: Kau tahulah, Baron. Nuwas melanjutkan kalimatnya, “Aku kan hidup di keluarga yang tidak harmonis. Orang tuaku cerai. Sebelum itu, mereka sering cekcok dan saling mengumpat di depan mataku saat kami di rumah. Meskipun aku mengunci diri di kamar tapi apa-apa yang mereka katakan masih dapat kudengar walau samar-samar. Rasanya telingaku penuh dengan makian dan semacamnya. Setelah itu, aku selalu merasa bahwa orang-orang—bahwa semua orang menudingku dengan prasangka-prasangka—sehingga aku selalu merasa bersalah bahkan atas kesalahan yang tidak kuperbuat. Aku hidup dengan ketakutan-ketakutan semacam itu, Baron. Aku takut hubunganku dengan Nanda akan berakhir tidak baik.”
Kau hanya membisu, kau tidak berbicara sepatah kata pun seperti seseorang yang baru saja memotong dan melemparkan lidahnya sendiri ke truk sampah yang lewat. Percakapan kalian berakhir begitu saja dan Awang yang kemudian diketahui sehabis pergi ke toilet dan membeli kopi pun kembali ke mobil. Ia menyalakan mesin, pemutar musik yang semula mati kembali hidup. Lagu yang sebelumnya terjeda kembali terdengar—lagu itu, lagu P. Ramlee berjudul Dimana Kan Kucari Ganti menemani kalian malam ini.
Selagi mobil melaju menuju Bogor melewati jalan yang sebentar-sebentar menanjak kemudian menurun lalu belok ke kiri dan kanan, kau menatap keluar pintu mobil. Matamu berkedut entah kenapa. Tangan kirimu yang kau sandarkan ke pintu pun semacam tremor. Ada sesuatu yang coba kau tahan. Kau tahan lagi. Kau terus tahan. Namun akhirnya kita menyerah juga.
Sesuatu itu adalah kenangan. Kenangan hari-harimu bersama Asih, pacarmu dulu.
Asih atau nama lengkapnya Asih Tjitraning Wulan, adalah gadismu di masa lalu. Asih adalah pacar pertama sekaligus pacar terakhirmu. Meskipun, kita harus berterus terang, setelah Asih mati, kau sempat dekat dengan dua gadis lain yang wajah atau gelagatnya mirip betul dengan Asih. Walau akhirnya kau sendiri yang menghindar dan pergi dari mereka. Kau, Baron Kédé, selalu mencari Asih di tubuh yang lain.
Kau dan Asih memutuskan berpacaran setelah tiga bulan sebelumnya berkenalan di pasar malam Cirangkong Wetan. Setiap bulan juli atau paling telat agustus, di Cirangkong Wetan selalu ada pasar malam. Beberapa warga menyebutnya orsel—meski yang tepat adalah carousel atau korsel—mereka ini salah dengar. Beberapa lainnya menyebutnya komedi putar. Dan yang paling banyak, menyebutnya pasar malam. Lapangan bola Cirangkong Wetan dikunjungi orang pada setiap malam dari pukul lima sore hingga pukul sepuluh, setiap hari selama dua minggu atau lebih kalau-kalau banyak pengunjung. Ada banyak hiburan, dari judi telor asin; tong setan; mandi bola; komedi putar; atraksi ular sanca hingga yang paling mainstream—juga tempatmu dan Asih bertemu untuk pertama kali: bianglala.
Malam itu adalah malam selasa. Hanya orang-orang tolol yang main ke pasar malam pada malam selasa. Orang-orang itu termasuk kau dan Asih. Bagaimana tidak? Selain akhir pekan, tentu pasar malam adalah tempat hiburan yang sepi. Tidak banyak pengunjung, sedikit pula karcis yang berhasil dijual pada malam-malam di hari kerja. Tentu saja sebab banyak orang yang masih kerja atau lembur dan akan lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah jika kerjaannya rampung lantas tidur. Itu tadi adalah pilihan cerdas. Dan sedikitnya pengunjung tentu berpengaruh terhadap gairah orang yang bekerja di pasar malam. Semua orang setuju bahwa wajah-wajah yang ditampilkan begitu muram dan lesu. Berbanding terbalik ketika malam minggu atau malam senin, para pekerja itu terlihat bahagia betul. Sebab mereka tahu, mereka akan mendapatkan banyak uang setelahnya.
Saat itu kau sedang mengantre untuk naik ke bianglala. Malam itu kau pergi sendirian ke pasar malam. Kau tidak membeli cemilan, kau juga tidak ikut judi telor asin sebab kau telah lama di-blacklist—Kau masuk ke daftar orang-orang yang sering betul menang taruhan sehingga merugikan si bandar. Malam itu, rencanamu hanya naik bianglala lalu pulang. Sebuah rencana yang tolol.
Di depanmu adalah dua pasang kekasih. Mereka masih remaja dan berisik betul. Satu kabin itu cukup untuk empat orang, cukup untuk mereka. Saat itu kau malah sibuk memikirkan cara agar kau dapat memotong besi kabin mereka dan kau tertawa setelah menemui cara dan membayangkan mereka jatuh dari ketinggian lantas mati.
“Masuk, Mas.” Ujar si penjaga bianglala. Perawakannya tua, wajahnya cukup kesal sebab kau hanya bengong seperti orang tolol.
Kau lalu masuk. Kau duduk di sisi kanan kabin dan membuatnya miring ke arah yang sama. Pintunya masih terbuka. Terdengar samar-samar protes darimu di dalam sana, “Hayu geuwat,” katamu: Ayo cepat. Dua orang lain kemudian masuk. Yang satu perempuan berambut pendek seleher dan bertubuh mungil, dan yang lebih muda laki-laki berambut lurus dan pirang serta berkacamata. Mereka kemudian diketahui sebagai Asih dan adiknya, Rai.
Di dalam kabin itu, pada malam selasa yang sepi, di titik tertinggi Cirangkong Wetan, kalian berkenalan. Hari-hari berikutnya seakan-akan hanya kepunyaan kalian berdua. Satu hari kalian habiskan untuk bersepeda di jalan yang kecil dan panjang—memotong hamparan sawah dan membawamu ke kebun tomat milik keluarganya Asih hanya untuk sekadar bermain layangan. Satu hari lainnya kalian habiskan untuk memancing ikan di sungai lalu membakar dan menyantapnya di saung yang tidak jauh dari sana. Hubunganmu semakin dekat, pelukan pun semakin erat. Hari bergulung menjadi minggu, minggu bergulung menjadi bulan dan seterusnya.
Hingga pada suatu sore, di satu sisi jalan yang lengang, Asih ditemukan terbujur kaku dan bersimbah darah. Ia ditabrak dan mati. Seorang paruh baya yang kebetulan sedang memotong rumput di sisi jalan yang lain mengatakan bahwa Asih ditabrak mobil pick-up. Hanya itu. Tidak ada keterangan tambahan. Kematian itu masih menjadi misteri, bahkan saksi satu-satunya pun telah meninggal tiga tahun yang lalu. Lamunan itu membawa kau, Baron Kédé, ke tempat yang lebih tenang dan dalam, kau kembali tidur.
Perutmu ikut bergoyang ketika pundakmu digerakkan Awang. Detektif partikelir itu, atau kau, akhirnya bangun. Kau, Awang dan Nuwas tidur di mobil meski tiga jam sebelumnya telah tiba di tempat ini. Nuwas bangun lebih dulu namun masih linglung, matanya belum terbuka sempurna. Sinar matahari menembus kaca mobil yang sedikit basah, ini masih pukul setengah enam, pikirmu, atau pikirku.
“Kita sudah sampai.” Kata Awang, kemudian ia turun dari mobil lalu berjalan beberapa langkah ke barat.
Mobil dengan wajah politisi-narsis ini terparkir di ujung utara pasar Kahuripan. Tidak banyak pembeli saat ini, mungkin karena beberapa jam sebelumnya turun hujan deras. Di sebelah barat mobil adalah gerobak doclang—di sana ada Awang yang telah duduk. Di depan Awang adalah pasar Kahuripan, pasar tradisional yang di ujung selatannya terdapat rel kereta aktif dengan lima sepur pada dataran yang lebih rendah.
Baron Kédé, atau kau, keluar dari mobil disusul Nuwas. Kalian berjalan menuju Awang. Di bangku panjang yang reot dan berwarna coklat inilah kalian duduk. Terdengar suara bapak-bapak yang sedang berkaraoke lagu Ilalang—sebuah lagu dangdut yang mendayu-dayu. Nyanyian itu terdengar samar-samar, offbeat, dan fals.
“Kita sarapan dulu.” Kata Awang, tenang.
Benar cerita burung-burung: dirimu s’lalu berdusta. Benar kata bisik angin: kau takkan pernah setia.
Kau mendelik ke pelbagai arah, gelagatmu seperti kadal yang sedang beradaptasi. Sementara Nuwas, hanya diam sebab bibirnya dilem dengan ilernya sendiri.
Kau mendekatkan bibirmu ke telinga Awang lalu bertanya dengan volume kecil, “Di mana dia sekarang?”
Awang berdehem sebentar, “Jangan sekarang. Di mobil saja.”
Awang melirik ke sekitar. Setelah ia memastikan tidak ada orang yang menguntit atau menguping dan pintu serta kaca mobil telah tertutup rapat, ia pun menjelaskan, “Orang itu belum datang.”
Di dalam mobil itu, di kursi yang sama, kau bertanya, “Kau dapatkan sesuatu?”
“Tadi,” Kata Awang sembari mengetuk-ngetuk ujung atas setir dengan telunjuknya, “Selagi kalian tidur, aku bertanya banyak hal ke banyak orang secara acak. Orang itu, setelah apa-apa yang ia lakukan di masa lalu, kini hidup dari menjual ayam potong. Lapaknya di dalam pasar, di tengah-tengah. Entah mengapa ia belum juga datang, mungkin hari ini ia libur. Lebih baik kita menunggu.”
Dari kursi belakang Nuwas bertanya, “Siapa orang yang kalian maksud?”
“Orang yang kita curigai sebagai pembunuh Yuyun Jayanti atau Asrul Darajat, atau juga keduanya.” Katamu dengan nada yang jinak, “Jika bukan ia pembunuhnya, paling tidak kita bisa dapatkan sesuatu. Paling tidak, kita bisa memutuskan langkah selanjutnya. Tidak ada yang sia-sia.”
“Orang itu... pembunuh?” Tanya Nuwas, sedikit terbata-bata. Sebuah pertanyaan tolol tentu saja. Sebab, dari awal memang tujuan kalian ke Bogor adalah mengejar buron. Kau pikir apalagi? Makan doclang di Bogor jam setengah enam pagi?
“Iya.” Kata Awang, “Dia bukan sembarang pembunuh. Namanya Amuk Marugul Lima. Nama belakangnya tentu adalah julukan. Sebab, di umurnya yang masih duapuluh, ia telah membunuh lima orang secara sadis, agar ia hidup abadi katanya. Korban pertamanya adalah seorang balita, ia melempar sebuah mesin jahit ke kepala si bocah. Tengkoraknya pecah dan orang tua si bocah tentu menangis histeris. Korban selanjutnya adalah tetangganya, ia menebas leher laki-laki itu dengan parang. Alasannya ia kesal betul dengan laki-laki yang cerewet. Korban selanjutnya....”
“Cukup.” Kata Nuwas, ia menelan ludahnya. Wajahnya menampilkan penyesalan telah menerima ajakan kalian ke sini.
Awang menjelaskan, “Atas perbuatannya, Amuk Marugul Lima dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara. Setelah bebas, ia menggunakan nama Jamal dan berjualan ayam potong.”
Mata si Nuwas bergerak cepat dan keringat dingin mengucur di batang lehernya. Ia mengucapkan beberapa kata dengan nada rendah. Pembunuh sadis. Ayam potong. Pisau. Pembunuh sadis. Pisau. Potong. Pembunuh sadis. Pi-sau. Ia lalu menyerah, “Aku di sini saja.”
“Maksudmu?” Tanyamu dengan cepat. Nuwas menjawab cepat, “Aku tidak mau ke luar. Aku di sini saja, di mobil. Kalian saja yang menemui pembunuh itu.”
“Naha?” Tanyamu dengan logat sunda yang khas: kenapa?
“Orang itu pembunuh, ia juga pasti punya pisau yang tajam.”
“Aku punya pistol.” Kata Awang.
“Peduli setan.” Kata Nuwas judes, “Aku di sini saja. Setidaknya di sini—di mobil yang terpajang foto politisi nyengir di bodysampingnya ini, aku aman.”
Kau, dengan perintahku, menengok ke arah Nuwas seraya berkata, “Tapi sebuah peluru bisa menembus mobil ini.” Nuwas memotong, “Aku mahir bersembunyi. Aku akan tiarap di lantai mobil.”
Baron Kédé, atau kau, melanjutkan kalimatmu, “Dan sebuah bom molotov dapat dengan mudah membakar mobil ini beserta kau di dalamnya. Jalan terbaik adalah kau ikut ke luar, aku dan Awang akan terus menjagamu.”
Tahi, Nuwas mengumpat.
Setelah dua puluh sembilan menit akhirnya ia muncul juga, wajahnya mudah dikenali, bengisnya terasa betul. Orang itu, Amuk Marugul Lima, berjalan dengan pelan, melewati gerobak doclang dan mobil kalian. Badannya tegap meski ia tidak lagi muda, rambutnya panjang dan diikat ke belakang. Ia memakai celana panjang, baju panjang dan celemek. Ia berjalan pelan, masuk ke kerumunan penjual dan pembeli di pasar yang mulai ramai. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menghilang dari pandangan matamu.
Awang menatapmu dan Nuwas pelan-pelan. Kalian mengangguk lalu keluar mobil. Nuwas mengeluh padamu bahwa ada sesuatu yang menggulung di perutnya, ia mual dan pengin muntah. Tapi mau bagaimana lagi, ia telah di sini, kadung nyemplung dan basah.
“Ayo.”
Kalian bertiga berjalan lumayan cepat, membuntuti Amuk Marugul Lima dari belakang. Sempat kehilangan jejak, namun ia dapat kautemukan lagi. Orang itu sekarang berdiri di belakang sebuah meja lapak ayam potong. Ada satu orang lagi di sana, mungkin istrinya mungkin juga anaknya. Orang itu tidak banyak bicara dan bertingkah.
Di sinilah kalian sekarang, di tempat kalian bersembunyi, di balik lapak sayur yang tak jauh dari lapak si Amuk. Kau, atau kita, membuat rencana, “Kita ke sana saja. Tenang. Pura-pura sebagai pembeli.”
“Tapi dia pembunuh. Atau paling tidak, pernah membunuh.” Kata Nuwas
“Justru itu, kita ke sana. Tenang.”
Awang tidak banyak bacot, ia melangkah. Tenang. Sebagai polisi, ia tentu pernah menghadapi keadaan semacam ini. Ia pernah menembak betis begal, ia juga pernah mengejar pencuri kerbau dengan mobil. Awang punya pengalaman semacam itu. Ia berjalan menuju lapak ayam potong dan kemudian disusul olehmu dan Nuwas.
Di depanmu adalah seorang bocah yang sedang membeli ayam. Orang itu, Amuk Marugul Lima terlihat mahir dalam memotong-motong seekor ayam menjadi duabelas bagian, kadang empat belas. Sementara itu, pikiran Nuwas dipenuhi rencana agar ia selamat. Nuwas berterus terang di lapak sayur tadi bahwa ia sudah pasrah jika cacat, asal ia tak mati. Lebih-lebih karena ia tahu dan semua orang tahu bahwa pisau yang Amuk Marugul Lima pakai untuk memotong ayam tajam betul. Besar. Mengkilap.
Nuwas sibuk dengan pikirannya sehingga ia baru sadar bahwa bocah itu telah pergi bersama ayam potongnya. Kini, kalian berhadapan.
“Beli berapa ekor?” Tanya Amuk Marugul Lima, suaranya berat dan serak sampai-sampai Nuwas merinding. Kau, atau kita, tersenyum sebab tebakanmu benar soal tipe suara orang itu yang kau lemparkan ke pikiranmu sendiri, atau aku. Sedangkan Awang hanya bengong. Ia yang berjalan duluan, ia pula yang kicep.
“Beli berapa ekor?” Tanyanya, lagi.
Tidak ada yang menjawab, semua orang diam dan
“Satu,” Katamu dan Amuk Marugul Lima akan melakukan tugasnya. Sayangnya kau, Baron Kédé, belum merampungkan kalimatmu, “Sama seperti tato bintang di tanganmu. Satu,” Katamu pelan dan tengil.
Amuk Marugul Lima mendelik, ia melotot dan diam. Kaulihat tangan kanannya meraba-raba, mencari sesuatu di meja, ia mendapatkan itu kemudian memegangnya, sebuah pisau yang besar dan berkilau. Ia mengangkatnya.
“Kami hanya ingin bertanya satu hal.” Ujar Awang, mencoba menenangkannya dan tentu sebuah hal sia-sia. “Benarkah kau...”
“Lain aing!” Amuk Marugul Lima berkata tegas dan cepat, artinya: Bukan saya!
“Siapa?”
Tidak ada jawaban.
“Siapa?!”
Tidak ada jawaban. Awang mulai geram, ia mengeluarkan pistol dari tempatnya dan... “Brengsek,” Umpat Awang ketika menyadari bahwa Amuk Marugul Lima telah mundur dua langkah dan kabur. Ia melakukannya dengan cepat.
Amuk Marugul Lima berlari ke arah selatan. Tidak ada seorangpun di dunia yang tahu ia akan ke mana. Ia berlari cepat sambil sesekali memotong tali tambang yang mengikat terpal-terpal lapak yang ia lewati dengan pisaunya sehingga roboh. Ada yang berkibar-kibar, ada pula yang menutupi pandangan kalian, orang-orang yang mengejarnya.
Awang, tentu saja lebih cepat daripada Nuwas apalagi kau yang sesekali berhenti dan memegang lututmu. Tapi, seperti katamu, cepat saja tidak cukup. Benar saja, empat peluru yang Awang tembakkan tidak menyentuh tubuhnya bahkan kakinya sekalipun. Awang tidak bisa mengejarnya dan Awang juga tidak bisa membuatnya pincang. Payah sekali, bukan?
Amuk Marugul Lima berlari, berbelok ke kiri lalu ke kanan. Ke kanan lalu ke kiri. Ia merepotkanmu, merepotkan kalian yang mengejarnya, dengan menebas tali ke terpal lapak yang ia lewati dan melemparkan apapun yang ada di depannya ke jalan yang ia lewati pula. Ada kardus, kotak buah, bahkan batok kelapa. Ia tahu itu tidak cukup untuk menghalangimu, tapi ia tetap melakukannya. Ia terus berlari.
Demikian pula Awang, kaulihat ia berlari sambil sesekali melompat dan menghindari barang-barang yang menjadi penghalang. Badannya ngos-ngosan, tapi ia tidak putus asa. Ia masih berlari. Ia bertambah kencang sesaat hampir menggapainya dan anjing! Awang mengumpat. Ia melambatkan langkahnya setibanya di ujung pasar. Ia kemudian mencengkram pagar besi bulat di depan dadanya. Dadanya berdebar-debar, bibirnya gemetar dan keringatnya mengucur deras. Orang itu, Amuk Marugul Lima, melompat ke sepur dan sebuah kereta yang kebetulan lewat menghajarnya tanpa jeda. Ia mati dengan tubuh jelek tak berbentuk. Kau berdiri di samping Awang dan bengong. Sementara Nuwas, yang entah mengapa terakhir sampai, memuntahkan kembali doclang yang mungkin baru sampai ke batang lehernya
KALIAN kini di mobil, melaju cepat menuju suatu tempat di Banten. Awang, yang sebelumnya menelepon polisi di Bogor untuk mengurusi mayat Amuk Marugul Lima dan menyelidiki lebih lanjut kepada keluarga dan kerabatnya, bertanya ke seseorang dan tentu hanya ia di sana bersama Awang—yakni kau, Baron Kédé, “Aku penasaran,” Katanya sambil memegang setir mobil milik politisi-narsis, “Bagaimana kau bisa ada di kebun Pak Asrul Darajat?”
“Aku melihat mobil polisi melewati indekosku pagi hari sekali. Aku penasaran, jadi kubuntuti. Ternyata kau di dalamnya.” Katamu di tempat duduk yang sama.
“Satu lagi,” Katanya sembari membelokkan mobil ke kanan menuju jalan layang, sedikit ngebut meski mobil milik politisi-narsis ini mulai mengeluh dan menjerit kecil, “Kenapa kau mau membantu aku mengurusi ini?” Awang bertanya lagi, kali ini lebih pelan dan hati-hati betul.
Kau hanya diam. Kau juga kini menyuruhku untuk diam. Kau hanya memutar tuas kaca mobil dengan tangan kirimu, angin sesekali menabrak wajahmu yang penuh bulu dan mulai lesu. Kau memandangi gedung-gedung, lapang bola dan tentu mobil lain yang lebih muda dan cepat. Kau, Baron Kédé, tidak menjawab pertanyaan Awang. Sebagaimana kau diam sewaktu ditanya Nuwas yang saat ini mungkin sedang duduk di bus atau kereta atau apapun itu menuju Cirangkong Wetan untuk menemui Nanda Chaniago (semua orang tentu akan maklum saat Nuwas lebih memilih untuk menemui kekasihnya daripada ikut mengejar pembunuh yang kemungkinan besar akan membawanya ke kematian. Meski, bagi beberapa orang, kematian adalah perayaan untuk berakhirnya penderitaan hidup. Untuk Nuwas yang sudah lama tidak jatuh cinta, pilihan itu cukup masuk akal dan dapat diterima). Kau diam dan bisu. Kau menyembunyikan sesuatu tentu saja. Di sudut hatimu yang jarang kau pakai, kau berusaha menyimpan serangkaian kalimat yang sebetulnya ingin kau ucapkan namun entah mengapa kau urungkan: Saya tidak mau orang-orang yang ditinggalkan hidup dalam ketidaktahuan yang menyiksa. Saya tidak mau orang lain seperti saya—kehilangan orang yang saya cintai dan harus punya alasan untuk hidup meski hari-hari saya disusun dengan langkah-langkah yang berat. Saya tidak mau mereka yang ditinggalkan merasa kosong. Saat semua ini selesai, saat mereka tahu alasan mengapa mereka ditinggalkan, setidaknya itu cukup membantu.
Hanya kalian berdua di sini. Diam dan hening. Hingga beberapa saat kemudian, Awang memencet tombol di pemutar musik. Dari pemutar musik kemudian terdengar Darso dengan mendayu-dayu dan penuh penghayatan menyanyikan Batrawali.
Kau menyadari sesuatu. Kau mengambil alih dirimu dari hatimu yang sedang bersedih dan galau. Aku memang butuh galau tapi tidak sekarang, katamu kepada telingamu sendiri. Kau harus profesional, Baron. Apalagi beberapa jam kemudian di Banten kau akan menemui Joni Badik, orang yang kita curigai berikutnya.
Mobil politisi-narsis ini melaju cepat. Kalian menuju pesisir Banten tempat Joni Badik berada. Melihat bagaimana gerak-gerik Amuk Marugul Lima saat ditemui dan jawaban singkatnya serta caranya menghindar dengan mati, kalian memutuskan untuk berpindah ke lembar biodata selanjutnya. Joni Badik atau nama aslinya Komaruddin Janari, adalah target berikutnya. Ia memiliki tato bintang yang sama. Di biodata itu tertulis bahwa ia, meski bertubuh pendek dan cungkring, ditakuti banyak orang sebab jago berkelahi dan bersembunyi serta menguasai beberapa ilmu kanuragan yang membuatnya bisa menghilang dan terbang, sulit dicerna dengan akal tapi begitulah yang tertulis di kertas itu. Berbeda dengan Amuk Marugul Lima yang membunuh lima orang, Joni Badik hanya membunuh satu orang—seorang polisi wanita. Mayat polisi wanita itu ditemukan tidak berpakaian dan untuk apa ia berpakaian? Sebab mayat polisi wanita yang dicincang menjadi 127 bagian tentu tidak butuh pakaian, kata Joni Badik saat ia diinterogasi. Ia, Joni Badik, mencincang tubuh polisi wanita itu dengan badik. Di penjara yang terletak di Indramayu kemudianlah ia mendapatkan julukan itu. Kau berpendapat bahwa Amuk Marugul Lima sebelumnya telah berkomunikasi dengan mereka yang tentu memiliki tato yang sama, termasuk Joni Badik. Mereka pasti saling kenal, katamu beberapa jam yang lalu. Awang pun setuju dan ke Bantenlah kalian sekarang.
Kau entah mengapa sedikit tersenyum, aku pun sedikit bingung. Dadamu berdebar-debar, ada semacam adrenalin yang lahir dari sana. Mula-mula memang kita menerka bahwa ini kasus yang menarik dan memang menarik, pikirmu. Namun aku tidak meyangka kau merasa senang begini. Meskipun, menyoal prasangka, memang selalu ada firasat semacam ini dan percaya tidak percaya, bahwa benar yang kita hadapi begitu menarik. Mengejar seorang buron adalah hiburan terasyik nomor dua setelah mengadu bagong dengan Karimun Wagon R 2014, katamu sewaktu hampir mabuk sekali waktu.
Kau, atau Baron Kédé, melamun dalam waktu yang panjang. Kau mengingat-ingat bahwa perasaan macam ini juga muncul saat kau pertama kali berusaha memecahkan kasus. Dan kau, atau kita, pada waktu itu berhasil melakukannya.
Apa-apa yang selama ini dikerjakan olehmu bermula saat kau menganggur dan membaca koran, di sana kau menemukan sebuah iklan. Iklan yang ditulis dalam kalimat pendek: dicari detektif untuk mencari bukti perselingkuhan pasanganku, hubungi 08562317XXXX, ada upah 6 juta rupiah. Kecil dan sebaris, terapit iklan-iklan obat kuat yang mungkin akan dibeli oleh orang-orang impulsif yang kebetulan ejakulasi dini. Tepat di atas penawaran itu adalah iklan pembesar penis. Apalah artinya sebuah penis yang besar, katamu merespon itu. Penis besar tidak akan sanggup melawan godzilla atau monster bersayap dan bersisik di bibir pantai—penis besar hanya akan merepotkan, katamu ketus. Sebuah penyangkalan dari seorang Baron Kédé yang merupakan orang kidal, gempal dan tentu memiliki penis kecil dan menguncup seperti jamur shimeji.
Mulanya kau tidak peduli pada setiap masalah individu, tapi karena kau membutuhkan uang maka kau mengambilnya. Kau menelepon nomor itu dan seseorang di seberang sana mengangkatnya, ia adalah laki-laki dan dunia tidak harus mengetahui namanya. Iya baiklah, sebut saja Zulfikar, katamu saat kau berpikir bahwa ada yang sedang menyimak lamunanmu dan memaksa kau menyebutkan namanya.
Zulfikar di seberang sana menjelaskan bahwa tiga hari lalu temannya memergoki istrinya, sebut saja Endah, sedang berpelukan dengan lelaki lain di Taman Kadeudeuh menjelang sore. Zulfikar kaget mendengar itu, ia tidak percaya. Tapi boleh jadi itu semua benar-benar terjadi. Zulfikar merasa harus membuktikan itu, sebab ia segan bertanya langsung, maka ia menyewa detektif partikelir. Ia menyewamu.
Tidak butuh waktu lama bagimu untuk menyelesaikan masalah itu, dan memang benar si Endah berselingkuh. Kau, dengan lumayan gemilang, dapat membuktikan bahwa si Endah telah selingkuh dengan lelaki muda dan kaya selama empat tahun. Saat diinterogasi di ruang tamu oleh Zulfikar dan kau menjelang malam, Endah membenarkan pernyataan itu. Endah tidak pernah menyangka bahwa hubungan terlarangnya itu dapat tercium. Endah merasa bahwa ia telah bermain begitu apik dan aman. Endah merasa, bahwa dengan mengganti nama kontak selingkuhannya dengan “Asuransi Kesehatan” akan membuat si suami tidak curiga, dan memang ia tidak curiga sebab ia memang benar-benar mencintainya. Endah merasa bahwa saat si lelaki muda mengirim sms: “Apakah Anda bersedia untuk menjawab survey kepuasan nasabah? Balas 1 untuk iya, balas 2 untuk tidak,” dan Endah membalas 1 (yang berarti suaminya, si Zulfikar, sedang tidak di rumah dan Endah dapat pergi dengan lelaki muda) tidak akan membuat hubungan terlarang itu terungkap. Endah merasa bahwa tiada seorang pun yang tahu persoalaan itu. Tetapi kau, Baron Kédé, dapat mengungkapnya. Endah mengingkari hubungannya dengan Zulfikar, dan Zulfikar hanya tertegun saat mendengar alasannya: Sebab kau mandul, Zulfikar!
Siapa suruh menikahi lelaki mandul, katamu. Bukankah brengsek jika meminta sesuatu yang sudah pasti tidak ia miliki? Jika benar-benar mencintai seharusnya menerima dengan lapang dada. Atau paling tidak lebih pintar lagi dalam berselingkuh, kata sikap licikmu. Dan lebih baik memang pergi ke orang lain yang memang bisa memberikanmu anak, atau mengadopsi anak. Atau, kau saja yang brengsek, katamu kepada Endah di akhir lamunanmu. Kau meracau dan kesal sendiri.
Kau tidak tahu kalian telah sampai mana sebab kau tertidur dan awan begitu gelap. Kau dapat melihat dengan jelas bahwa jalanan telah basah. Kau, atau kita, menyimpulkan bahwa hujan telah turun dan reda sewaktu kau di sini. Awang melirikmu, ia berbicara sembari mengemut permen kopi, “Banten di depan mata kita,” katanya dan kau hanya diam dalam beberapa kedipan mata. Kau kemudian mengambil ranselmu lalu mengeluarkan seporsi kebab yang dibungkus rapi. Tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa kita membawa kebab dan Awang merasa bahwa apa yang ia lihat adalah lelucon. Kau memakannya. Sungguh Baron Kédé memakannya. Semua itu kau lakukan dengan tangan kirimu. Itu mungkin sudah basi dan tidak enak lagi, kata Awang kepadamu menerka kebab itu.
Mobil politisi-narsis ini akhirnya berhenti, kalian telah sampai di Banten. Awang mengintip arlojinya yang disimpan di dasbor mobil. Tebakannya benar, kalian sampai di Banten jam dua siang. Awang berjalan ke luar sambil memakai jaketnya, ia kemudian duduk di warung kopi. Tempat ini begitu asing, katamu. Kau sampai bingung cara membaca nama desanya: Kerta? Kerta? Ker ta? Ke rta? Tapi peduli setan, katamu kepada kepalamu sendiri. Urusanku di sini adalah Joni Badik.
Dan Awang, demi Neptunus, hari ini ia dapat diandalkan. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menggali informasi dalam-dalam. Kita dapat merasakan bahwa Awang sungguh-sungguh ingin membawa si pembunuh ke depan batang hidungnya. Kau, Baron Kédé, dapat merasakan itu selagi kau diam. Selebihnya, tidak ada yang tahu apa-apa yang kau rasakan.
Orang yang kalian cari—Joni Badik, ada di pematang sawah. Tidak jauh dari warung kopi ini. Kata seseorang yang mampir sebentar, Joni Badik sedang memancing belut—ia bisa menghabiskan berjam-jam di sawah hanya untuk itu. Sementara kata ibu warung, ia dikenal sebagai seseorang yang selalu membawa benda tajam. Awang, sebelum menyeruput susu hangat, merespon itu, “Untuk menghabisi seseorang?” Ibu warung menimpal, “Bukan,” katanya, “Untuk memotong kayu bakar.” Dan Awang percaya bahwa Joni Badik tidak segan untuk membunuh seseorang dengan itu. Selagi Awang membayar minumannya, ia menerima telepon. Seseorang nun jauh di sana, yaitu anggota kepolisian di Bogor, menyampaikan bahwa Amuk Marugul Lima belum cukup bukti telah kembali membunuh seseorang. Namun ia diketahui telah berkomunikasi dengan seseorang dan membicarakan perihal pembagian upah. Entah upah untuk apa. Mereka akan melanjutkan penyelidikan itu dan kau bersama Awang beranjak menuju Joni Badik.
Kalian berdua mulai berjalan ke pematang sawah dan Kerta masih basah selepas hujan. Kalian dapat melihat dengan samar-samar bahwa matahari mulai condong ke ufuk barat. Itu artinya kalian tidak boleh menghabiskan waktu lebih lama lagi, kalian harus bertemu Joni Badik. Meski sebelum itu, ibu warung bertanya mengapa hanya kalian berdua yang menemui Joni Badik dan Awang menjelaskan bahwa membawa banyak orang berarti membutuhkan lebih banyak biaya. Dan itu tentu merepotkan. Lebih-lebih orang yang akan mereka temui belum tentu berhubungan dengan pembunuhan di Cirangkong Wetan. Jawaban itu tentu membuat ibu warung kembali bertanya, “Mengapa pengejaran ini dilakukan sementara kalian tidak tahu apakah ia terlibat?” Dan kau, kuakui cukup oke, dengan singkat menjawab, “Justru itu. Kami ke sini untuk mencari tahu, apakah ia terlibat?”
Kalian berhenti di ujung jalan Kerta dan di seberang sawah—di pondok kecil itu seseorang duduk menghadap kalian. Kalian tidak berbicara, begitu pula dengan seseorang itu yang kemudian diketahui sebagai Joni Badik. Kalian saling menatap, berdiri di antara sepetak sawah.
Joni Badik pelan berdiri, ia menyimpan belut-belut yang telah ia ikat dengan benang kasur ke tanah. Ia kemudian maju beberapa langkah, wajahnya yang tirus itu kini lebih jelas terlihat. Ia bertolak pinggang kemudian berseru, “Selamat datang... Awang!”
Awang sontak kaget, ia tidak tahu Joni Badik mengenalnya dan sapaan itu terasa tidak ramah baginya. Awang meraba ikat pinggangnya, ia memastikan bahwa pistolnya masih tetap di sana.
Suara cempreng itu belum selesai, “Selamat datang juga Baron—Baron Kédé!”
Joni Badik tertawa kecil.
“Sepertinya kau sudah tahu maksud kedatangan kami.” Kata Awang, ia mencoba menahan amarahnya.
“Tentu,” Joni Badik merespon cepat, “Banyak orang yang memberitahuku banyak hal soal kalian, terutama kau... Baron Kédé. Termasuk soal matinya Amuk Marugul Lima.”
Awang berdalih, “Kami tidak membunuhnya.” Ia mengucapkan itu seolah-olah ia tidak terlibat sama sekali di pasar Kahuripan.
Joni Badik berujar, “Aku tidak menuduh siapapun dan..”
“Aku,” Katamu memotong, “Sudah curiga bahwa kalian saling berkaitan.”
“Tentu.” Joni Badik merespon cepat.
“Tentu?” Awang memastikan apa yang ia dengar.
Ada hening sebentar dan Joni Badik memecahkannya, ia mengucapkan sesuatu, “...Wirang.” Lalu Joni Badik tertawa tengil setelahnya. Lebih-lebih saat ia melihat reaksi Awang, ia berbicara lantang, “Aku suka betul melihat wajahmu merespon kata itu! Aku menyukai ketidaknyamananmu, Wang!”
Awang mengeluarkan pistolnya, ia maju perlahan sambil menodongkan senjata itu ke arah Joni Badik. Sementara itu, kau diam di tempatmu berdiri sembari tersenyum setelah mendengar bahwa ia berasal dari sindikat bernama Wirang. Kelompok itu ternyata benar-benar ada, Baron. Bukan hanya sekadar gosip atau semacamnya—bahwa benar-benar ada sekelompok pembunuh bayaran yang gila dan tega menyiksa targetnya.
Kau tersenyum sebab, setelah kasus ini selesai, kau mungkin akan mendapatkan banyak pujian. Kau senang betul bahwa, sedikit-banyak, dirimu akan diingat sebagai seseorang yang membuka topeng Wirang. Aku tahu kau malu mengakuinya tapi kau senang betul jika mendapatkan pujian itu—pujian yang kau idam-idamkan tentu bukan dari kepolisian, bukan juga dari pemerintahan atau semacamnya. Bukan berupa bintang kehormatan atau omong kosong sejenisnya. Meski memang, beberapa tahun lalu, kau pernah mendapatkan itu. Kau diundang namun tidak datang. Katamu, kau tidak butuh piagam dan tidak peduli soal itu, kau hanya butuh uang, dan kau memang lebih membutuhkan uang. Saat itu kau menjengkelkan bagi semua orang tetapi kuakui itu adalah sikap yang cerdas. Kau pernah berterus terang, satu-satunya pujian yang kau idam-idamkan adalah dari sebuah forum diskusi para detektif partikelir di Telegram. Jelaslah kau sudah gila, namun katamu bukankah semua orang juga gila?
Ada senyum kecil yang memaksa nampak di bibirmu tapi ia menahannya.
“Kau salah sasaran, Wang.” Kata Joni Badik dengan sedikit tengil. “Aku tidak terlibat dalam kejadian belakangan ini. Lihat! Aku menghabiskan waktuku dengan memancing belut. Aku menikmati hidupku yang damai. Sangat damai.”
Awang masih menodongkan pistolnya, ia berjalan selangkah lagi seraya berujar, “Aku tidak percaya.”
Joni Badik tertawa kecil, “Aku tidak terlibat.”
“Angkat tangan!”
“Aku tidak terlibat, Wang.”
“Angkat tangan!”
“Kau tahu,” Kata Joni Badik sambil mengangkat tangannya, “Wirang sudah bubar bertahun-tahun yang lalu. Kami sekarang berjalan sendiri-sendiri.”
“Diam atau kutembak tengkorakmu?!”
Joni Badik cekikikan, “Semua orang di dunia ini tahu betul kau tidak berani melakukan itu, Wang.”
Awang diam, dadanya berdebar-debar—ada sesuatu yang mendidih di kepalanya.
Pada jeda yang cukup panjang, kau bertanya kepada Joni Badik, “Siapa yang membunuh Yuyun Jayanti?”
“Aku... tidak tahu.”
“Siapa yang membunuhnya!?” Awang berteriak, jarinya gatal betul pengin menarik pelatuk.
“Aku tidak tahu.”
“Jangan bermain-main, brengsek,” Kata Awang, “Sebut namanya!”
“Aku bersumpah aku tidak tahu.”
“Aku tahu kau berbohong,” Kata Awang, “Jawab cepat.”
“Aku bersumpah bahwa aku tidak tahu.”
“Setan!” Awang mengumpat, “Sumpahmu itu palsu!”
Joni Badik mendekat beberapa langkah, ia lalu menarik daun telinga kirinya ke arah luar, “Keureut ceuli aing!” Katanya: potong telinga saya!
Awang menelan ludahnya. Dan benar, Jodi Badik mengeluarkan belati dari saku celananya. Kau sempat pengin tertawa sebab Joni Badik tidak konsisten, seharusnya ia mengeluarkan badik dan bukan belati, tapi peduli setan.
Joni Badik mengiris telinga kirinya. Ia mengerang dan darah segar muncrat cukup banyak. Joni Badik melakukan itu, ia benar-benar mengirisnya. Ia berdiri dengan sumpahnya. Ia, Joni Badik, tidak berhenti di situ. Ia menjulurkan lidahnya dan dengan satu irisan mantap, setengah lidahnya terkoyak, ia lalu melemparkannya ke sawah. Ia berdiri dan terengah-engah.
Semuanya terasa begitu cepat. Awang menurunkan pistolnya dan kau berjalan untuk mendekatkan telepon genggammu ke telinga Awang. Dan suara itu terdengar jelas—suara Nuwas yang gemetar di pesan suara Telegram: “Amung Gagu dibunuh.”
Bajingan! Awang mengumpat. Ia menembak sawah dengan membabi buta sampai peluru di pistolnya habis, bau hangus pun tercium jelas. Awang melangkah ke depan dan dengan satu pukulan jitu, Joni Badik terhuyung ke sawah.
CIRANGKONG Wetan pagi ini, entah mengapa, lebih dingin dari biasanya. Mula-mula, sejak kematian Yuyun Jayanti, tidak banyak yang berubah dari Cirangkong Wetan. Namun seiring bertambahnya korban, tempat ini menjadi jauh lebih sepi dan sunyi. Kau dan Awang yang baru saja tiba di sini dapat merasakan bahwa ketakutan-ketakutan itu telah datang, sehingga tidak aneh apabila banyak yang mengunci rapat-rapat pintu dan jendela rumah.
Seseorang berjalan menuju kalian, ia adalah Munawir Jun, seorang penjual ayam bakar dan kerabat dekat Amung Gagu. “Mayatnya bukan di sini. Bukan di rumah ini,” Kata Munawir Jun menjelaskan.
“Lalu?” Tanya Awang
Munawir Jun menghela napas panjang, “Di bundaran Cirangkong Wetan.”
Kalian bertiga menuju ke sana. Bundaran Cirangkong Wetan tidak jauh dari rumah Amung Gagu, hanya sekitar lima menit dengan sepeda motor. Tidak ada yang pernah mengira bahwa Amung Gagu akan berakhir seperti itu, di tempat paling sepi di Cirangkong Wetan yakni bundaran Cirangkong Wetan. Sepi sebab, di Cirangkong Wetan ini, tidak banyak mobilitas. Jarang betul orang masuk-keluar dengan kendaraan besar sehingga harus melintasi bundaran Cirangkong Wetan. Orang-orang, dengan berjalan atau menaiki sepeda, biasanya masuk ke Cirangkong Wetan lewat gang sepuh—sesuai namanya, gang ini terletak persis di samping rumah Abah Bayu Suryaning Adji—seorang tetua adat dan merupakan kakek dari Asih Tjitraning Wulan, pacarmu dulu.
Kalian tiba di bundaran Cirangkong Wetan, ada Nuwas di sini serta delapan polisi yang bertugas untuk mengamankan TKP. Polisi-polisi itu menginap di sini sebab mayat Amung Gagu masih di sini, mereka sengaja melakukan itu untuk menunggumu. Berbeda dengan sebelumnya, tidak ada warga yang mendekat. Kali ini mereka takut dan rumah tentu tempat yang aman bagi mereka.
“Tidak ada simbol bintang kali ini,” Kata Nuwas di depan garis polisi kepadamu.
Kau tidak merespon, begitu pula dengan Awang. Kalian kemudian masuk ke area TKP dan seorang polisi membuka terpal biru yang menutupi mayat Amung Gagu.
Amung Gagu, manusia malang itu, mati mengenaskan. Tubuhnya telah membiru dan beberapa bagian tubuhnya telah membusuk, termasuk lehernya yang digorok hampir putus. Ia mati dengan posisi tengkurap dan melotot. Kedua telapak tangannya yang terbetang dipaku dengan paku beton ke aspal, begitu pula dengan kedua kakinya.
Nuwas berujar dari luar area TKP, “Kali ini ada saksi.”
“Siapa?” Tanya Awang cepat
“Abah Bayu.”
“Abah Bayu Suryaning Adji?”
“Iya,” Kata seorang polisi mengiyakan
Sementara itu kita punya rencana. Maka kuminta kau mendekat ke Munawir Jun untuk kemudian berkata, “Kau bisa bantu aku?”
Munawir Jun mengangguk setuju. Kau melanjutkan, “Bawakan padaku tangga lipat.” Ia kemudian pergi mencari tangga itu. Sementara itu, Awang berdiri dari jongkoknya kemudian bertanya kepada seorang polisi yang berujar tadi, “Apa kata Abah Bayu?”
“Jumlah mereka banyak,” Kata polisi itu menirukan Abah Bayu, “Mereka menggunakan sepeda motor.”
Awang mengusap-usap dagunya, “Hanya itu?”
“Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan bertopeng.”
Awang menghela napas panjang lalu meracau dengan wajah yang cukup bingung, “Untuk apa mereka membunuh Amung Gagu?”
Tak lama berselang, datang Munawir Jun menjinjing tangga lipat. Kau kemudian meminta Nuwas untuk menaiki tangga itu di dekat mayat Amung Gagu. Nuwas tidak banyak bicara, ia manut dan menaiki tangga itu. Kau, Baron Kédé, sembari mendongah, bertanya kepada Nuwas, “Apa yang kaulihat?”
“Mayat Amung Gagu.”
“Apalagi?”
“Mayat. Agung. Gagu.”
“Apalagi?”
Nuwas, sambil terus melihat mayat Amung Gagu, sedikit jengkel menjawab, “Mayat Am... Ah, bintang!”
Awang lantas kaget. Ia baru menyadari bahwa mayat Amung Gagu yang tengkurap itu membentuk bintang lima sisi, empat oleh kaki dan tangan serta satu sisi lainnya oleh kepala. Ia baru menyadari bahwa pembunuhan ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah ulah Wirang.
Kau berjalan cepat ke tempat kalian memarkir motor—di mana kau menyimpan tasmu. Kau, dengan tangan kirimu, mengeluarkan lembaran biodata, “Kita harus ke sana,” Kau memegang kertas itu dengan tangan kirimu yang gemetar, “Ke Banjarsari.”
Awang menyusulmu lalu bertanya sesuatu yang mungkin akan dijawab oleh orang lain, “Mengapa Banjarsari?”
Kau, Baron Kédé, hanya tersenyum dan Munawir Jun memotong, “Sebab Banjarsari hanya bisa dikunjungi dengan sepeda motor.”
Awang berjalan lebih cepat seraya berkata, “Aku butuh banyak peluru.”
Kalian menuju Banjarsari.
Tempat itu, Banjarsari, berjarak satu jam dari Cirangkong Wetan. Banjarsari, Nuwas bergumam. Tidak banyak yang ia ketahui soal Banjarsari selain bahwa tempat itu penghasil genteng dan batu bata. Kalian tiba di sana dengan dua sepeda motor. Awang bersama Munawir Jun dan kau bersama Nuwas.
Tidak butuh waktu lama bagi kalian untuk menemukan tempat itu. Sebuah rumah panggung di pinggir sungai, tepat di depannya adalah bengkel motor yang juga bengkel mesin perahu. Kalian turun dari motor dan memarkirnya di dekat bengkel, tidak ada orang saat itu. Sepi dan lengang. Awang meraba ikat pinggangnya, memeriksa apakah pistolnya masih berada pada tempatnya. Lalu kalian menyusun rencana: Kau dan Awang masuk ke rumah itu untuk menangkap seseorang di sana. Sementara Nuwas dan Munawir Jun menunggu di luar, berjaga-jaga.
Kau dan Awang mendobrak pintu rumah itu. Kalian masuk dan Awang menodongkan pistolnya.
Hanya ada satu orang di sini, ia memiliki tato bintang di tangannya. Tidak ada perlawanan maupun percobaan kabur, “Akhirnya kalian datang juga. Ini lebih cepat dari dugaanku.” Katanya dengan nada mengejek. Ada yang mendidih di dadamu, aku tahu sabar di dirimu mulai menguap. Begini rupaya menghadapi orang tengil, Baron. Kita seperti berdiri di depan cermin yang besar.
“Kau si pembunuh.” Ujar Awang.
Tidak butuh jeda, ia menyangkal Awang, “Aku hanya anak buah sama seperti yang lainnya.”
“Kau hanya sendiri. Jadi perhatikan ucapanmu,” Kata Awang sambil menodongkan pistolnya ke tengkorak si pembunuh.
“Sekarang aku sendiri,” Katanya, “Sepuluh menit yang lalu anak buahku masih di sini,” Ia berbisik dan menyebalkan, “Tak perlu kaukejar mereka, mereka sudah ngibrit entah ke mana, aku pun tidak tahu. Kalau kaukejar,” katanya, “Kau akan menghabiskan lebih banyak waktu.”
Kau, setelah berhasil meredam emosimu, membuka suara, “Siapa tuanmu?”
“Aku tidak tahu. Yang kutahu istri dan anakku di kampung akan punya banyak uang. Aku hanya disuruh menunggu di sini oleh tuanku.”
Awang menyimpan pistol ke sarungnya. Ia, kiranya, merasa tidak perlu mengancamnya untuk mengatakan sesuatu. Ia kembali bertanya, “Di mana tuanmu?”
“Aku... tidak tahu. Aku hanya dapat arahan lewat itu.” Katanya sambil menunjuk sesuatu di atas meja dengan bibirnya.
“Surat?” Tanya Awang
Ia tersenyum lalu mengangguk.
Awang gemetar, entah mengapa ia gemetar, “Satu pertanyaan lagi. Apakah tuanmu menyuruhmu untuk memperkosa Yuyun Jayanti sebelum kaubunuh?”
Ia tersenyum, giginya yang penuh karang dapat terlihat jelas, lalu mengucapkan sesuatu, “Aku... berimprovisasi,”
Awang menjadi bengis, tidak ada seorangpun di dunia yang pernah melihatnya seperti ini bahkan istrinya sekalipun. Ia mengeluarkan pistol dari sarungnya lalu menembakkan satu peluru ke penis si pembunuh. Ia hampir mati dan meraung-raung. Darahnya yang merah dan segar itu muncrat.
“Itu untuk Yuyun Jayanti.” Kata Awang. Ia lalu menembak si brengsek itu tepat di mulutnya yang mengaga. “Itu untuk Amung Gagu.”
Ia menembak lagi, kali ini ke perutnya, “Itu untuk Asrul Darajat.”
Kau kaget, kau sebetulnya pengin bilang bahwa Awang tidak perlu melakukan itu. Awang tidak perlu membunuhnya, ia cukup mengirimnya ke penjara dan membiarkannya disiksa oleh narapidana lain karena telah memperkosa dan membunuh seorang gadis, dan membunuh yang lainnya. Namun kau memilih untuk tidak peduli. Meski kutahu sebetulnya kau benci dengan bau anyir darah.
“Cukup, Wang” Katamu, kau hanya mampu mengatakan itu. Si brengsek itu tergeletak di satu sudut kamar. Matanya melotot, satu bagian tembok kamarnya dihiasi cipratan darah. Merah dan baunya khas betul.
Awang kemudian menelepon kawan-kawannya—ia meminta mereka untuk membersihkan tempat ini. Sementara kau menghadap ke meja itu dan kita membaca surat dari Si Tuan. Isinya kurang lebih semacam arahan pembunuhan—berisi biodata dan cara melakukan, termasuk untuk sengaja meninggalkan jejak. Kau mengetuk-ngetuk meja dengan jarimu, sementara Awang hanya bengong sebentar lalu kembali menelepon seseorang.
“Kau menelepon siapa?” Tanyamu sedikit ketus dan heran.
“Seseorang.” Jawab Awang
“Siapa?”
Awang memutar bola matanya, “Grafolog.”
“Kau tidak perlu ahli tulisan tangan, Wang. Untuk apa?” Tanyamu heran, benar-benar heran.
Awang kembali memutar bola matanya, “Untuk mencari tahu siapa pengirim surat itu, lah.”
“Tidak perlu,” Katamu, “Alamat pengirimnya tertulis di surat ini.”
Awang nampak tolol. Kemarahan memang membuat manusia menjadi tolol dan lambat, seperti halnya saat manusia jatuh cinta.
Akhirnya kalian kembali ke Cirangkong Wetan beserta surat dari Si Tuan.
Di kantor polisi inilah kalian sekarang, setelah dua jam perjalanan, jauh lebih lambat dari sebelumnya. Tentu sebab kau yang menyetir, kau berkelakar bahwa orang kidal memang lambat dalam menyetir kendaraan, lebih-lebih hanya beroda dua. Awang berkali-kali bertanya, “Apa bedanya?”
“Kita ke sana sebentar lagi,” Kata Awang, “Kali ini,” Awang menatapmu dalam-dalam, “Aku akan membawa anak buahku.”
Kau, atau kita, hanya mengangguk setuju.
“Kali ini,” Katanya lagi, “dengan mobil polisi.”
Kau, atau kita, mengangguk lagi.
Kalian kemudian masuk ke mobil polisi menuju tempat Si Tuan di Jatinangor. Ada dua mobil polisi, dan Nuwas ada di salah satu mobil itu. Sementara Munawir Jun pulang ke rumah, “Aku punya urusan lain,” Katanya, yang berarti: Aku harus berjualan ayam bakar.
Kali ini tidak ada lagu dangdut atau pop atau melayu atau minang yang diputar di mobil. Semuanya hening. Tidak sepenuhnya hening sebab ada suara sirine yang sumbang. Tapi sirine, katamu ketus, hanyalah bunyi-bunyian yang tidak bisa membuat pinggulmu bergoyang. Sebaik-baiknya bunyi-bunyian adalah dangdut koplo; nomor dua pop melayu dan; nomor tiga lagu minang, katamu kepada Awang untuk menutup argumenmu soal mobil polisi sebagai mobil paling membosankan nomor dua setelah mobil mogok.
Mobil melaju cepat dan Awang terus menatap jalan menuju Jatinangor. Kau dapat merasakan bahwa Awang ingin semua ini cepat selesai. Kau juga, sebetulnya, ingin semua ini selesai. Lebih-lebih, kita tahu itu, setelah ini kita akan mendapatkan pujian sebab telah membuka topeng Wirang.
Kalian tiba di Jatinangor menjelang siang. Tidak butuh waktu lama bagi kalian untuk menemukan alamat itu. Kali ini bukanlah rumah melainkan toko kelontong. Mobil polisi kalian terparkir di depan toko itu, lampu sirinenya menyala-nyala. Dan Awang beserta anak buahnya melakukan tugasnya, mereka mengendap-endap dan mengepung toko itu untuk menangkap Si Tuan.
Sementara itu, Nuwas dan kau hanya berdiri dan bersandar ke kap mobil polisi.
“Kau tahu, Nuwas,” Katamu membuka obrolan, “Aku sebetulnya berharap pembunuhan-pembunuhan ini tidak berakhir hari ini.”
Nuwas memasang wajah heran, ia akhirnya berujar, “Kau pasti berharap kasus ini jauh lebih mengerikan dan..”
“Betul,” Katamu sambil melipat tanganmu, “Ini menarik,” katamu, “Tapi cukup membosankan.”
“Kau ini,” Ujar Nuwas yang disusul suara tembakkan dan teriakan angkat tangan yang timbul-tenggelam. Ada yang berteriak di dalam sana, seseorang pasti terluka, katamu kepada dirimu sendiri, tapi masih hidup sebab ia masih mampu berteriak.
“Kau memang berharap seperti apa?” Tanya Nuwas penasaran
Kau sedikit tersenyum, kali ini cukup menjijikan, lalu kau berkata dengan nada malu-malu, “Kupikir aku akan bertemu mafia atau kartel narkoba dan semacamnya. Ini sungguh membosankan,” katamu menutup.
Nuwas hanya mengangguk.
Mula-mula kau hanya tertawa lalu kau berbicara menyoal harapanmu, “Aku sempat berpikir bahwa pembunuhan-pembunuhan ini akan mempertemukanku ke mafia-mafia Hongkong dan akan menarik perhatian banyak orang.”
“Menarik perhatian banyak orang?”
“Betul. Sehinga aku terkenal.”
Kalian lantas tertawa begitu kencang seperti kebanyakan orang-orang narsis lainnya.
“Saking menariknya,” lanjutmu, “Seorang penulis tertarik untuk menceritakan ini kembali.”
Nuwas tertawa kecil, ia mencoba menghiburmu dengan berkata: “Serangkaian pembunuhan ini pasti akan ditulis seseorang dan kau akan terkenal, Baron.”
Kau mendelik lalu berkelakar: “Hanya penulis tolol yang akan menuliskan cerita semacam itu.”
Kalian berdua tertawa lepas, begitu lepas.
Tak lama berselang, Awang dan anak buahnya keluar bersama seseorang—yang kemudian diketahui sebagai Si Tuan. Orang itu kaki kanannya pincang, dan wajahnya lebam. Sementara kedua tangannya diborgol.
Ada yang berubah dari wajahmu, entah mengapa. Mula-mula aku tidak menyadarinya sampai kemudian Si Tuan tersenyum ke arahmu, “Apa kabar, Baron Kédé?” Tanyanya, nampak familiar kataku dari sini.
Kau hanya diam. Kau juga menyuruhku untuk diam.
Awang heran, “Kalian saling kenal?”
Si Tuan berbisik sambil tersenyum licik kepada Awang, “Kawan lama.”
Semua orang di sini tahu bahwa napasmu lebih berat dari sebelumnya. “Aku,” Katamu, “Kabarku baik, Abdullah Harahap.”
Abdullah Harahap. Orang itu. Aku akhirnya ingat orang itu. Kau masih mengenal wajahnya dan Aku masih mengingatnya dan kita memang tidak pernah melupakannya sebagai seseorang yang pernah ditolak cintanya oleh Asih Tjitraning Wulan—dan Asih lebih memilihku, memilihmu, memilih kita, Baron.
Si Tuan, atau kini yang lebih dikenal sebagai Abdullah Haharap, menatapmu. “Aku selalu berharap agar kita akan bertemu lagi, Baron.” Katanya pelan dan tengil, “Akhirnya hari ini tiba masanya,” Si Tuan menatapmu dari ujung kaki sampai kepala, “Kau macam tak berubah, Baron.” Suaranya berat, “Sama. Saja.”
Kau hanya diam selagi Si Tuan mendekatkan kepalanya ke telingamu seraya berbisik, “Semua ini,” kata Si Tuan, “Semua ini adalah rencana dan perbuatanku.”
Si Tuan tertawa kecil, “Apakah kau kaget?”
Pupil matamu membesar, kau tidak bisa menutupi itu. Itu semua di luar kendali kita, Baron. Dan si Tuan kemudian berujar, “Aku selalu senang menatap wajahmu yang macam ini.”
Si Tuan kembali berbisik, “Semuanya adalah tanggung jawabku.” Ia mengulang ucapannya, “Semuanya adalah tanggung jawabku. Semuanya.”
Ada hening panjang di sini. Dan Nuwas memecahkan hening itu, ia bertanya kepadamu, “Apa maksudnya, Baron?”
Kau, Baron Kédé, menoleh sebentar lalu menjawab, “Tidak ada apa-apa,” Katamu pelan, begitu pelan. Aku tahu kau berbohong lagi, Baron Kédé. Aku tahu itu. Kau tidak menceritakan seluruhnya. Mengapa kau tidak berterus terang saja? Siapa yang kauhindari, Baron? Apa yang kauhindari?
Kau, atau kita, sedang di indekosmu, duduk di satu sudut kasur lantaimu yang retak dan bau, ada beberapa lubang dengan busa yang menyembul dan mulai menguning. Matamu berjalan-jalan ke sana ke mari seperti mencari sesuatu. Dan seperti biasa pikiranmu, atau aku, jauh lebih cepat menangkap apa yang kau cari—kugambarkan untukmu seorang lelaki, berambut blonde hampir penuh uban, bernama Jonathan Hope sedang menaiki panggung dengan neon sign “Talk to Talk 2004” berwarna putih menyala-nyala. Ia berdiri di sana, melepas kancing jasnya lalu memulai monolog dengan bahasa latin, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi: setiap manusia menyimpan rahasia, dan setiap rahasia menyimpan rahasia yang lain.
Maka hidupmu penuh dengan rahasia, dan rahasiamu penuh dengan rahasia yang lain. Kau tahu itu, Baron.
Maka kau, sekali lagi, dengan tangan kirimu membuka SoundCloud di telepon genggammu. Kau memutar lagu Sheila On 7 berjudul Bait Pertama. Lalu gigimu mengatup-ngatup cepat, sedangkan jari tangan kirimu menyentuh-nyentuh bibir bawahmu.
Kau melemparkan badanmu yang gempal itu ke kasur. Kau kini terlentang dan pikiranmu, atau aku, memanjat plafon indekos lantas pergi ke suatu tempat di masa lalu. Setelah bertahun-tahun lamanya akhirnya kau, Baron Kédé, kembali menggunakan tangan kananmu—tangan kanan itu kau gunakan untuk mengusap pipimu yang basah.
Beginilah jadinya sebab banyak hal yang mustahil kauhindari, Baron. Salah satunya kau, atau aku(?)
_
ditulis oleh Agung R. Efendi | diunggah 18 Mei 2025, 20:23