halamanbelakang.org—Lelaki kurus kecil itu sedang bersandar ke pohon asam sembari mengipas-ngipas wajahnya dengan topi setelah sebelumnya sibuk menggiring koloni bebek milik juragannya masuk ke tenda. Namanya Jaro. Tidak ada yang tahu persis apa arti namanya, bahkan orang tuanya sekalipun. Meskipun demikian, Jaro adalah orang yang terus berusaha mewujudkan hajat hidupnya agar lebih layak.
Pohon asam itu paling rindang di antara pohon-pohon yang tumbuh di bibir sungai, sungai yang membelah hamparan sawah. Di sudut yang lain, di sepetak sawah yang telah dipanen, berdiri tenda miliknya yang terbuat dari terpal dan cukup kokoh. Tenda itu dikelilingi oleh pagar bambu setinggi betis orang dewasa, bersekat pendek dan rapat. Sementara di dalamnya, terdapat bak kecil dan pendek berisi air. Di atas bak itu tergantung lampu mati yang bergerak-gerak karena bermain dengan angin. Tenda itu, yang kemudian disebut sebagai kandang nomaden, adalah tempat istirahat bagi koloni bebek yang ia gembalakan.
Jaro mengeluarkan foto 3x4 dari saku bajunya. Ia memandangi seseorang yang sedang berpose di sana, seseorang yang bertubuh mungil, berambut pendek, dan penuh bedak di pipinya. Orang itu adalah Gendis, anak satu-satunya yang masih 3 tahun dan lucu. Siang itu ia kangen betul dengan Gendis, ia ingin bermain lagi dengannya. Apapun. Masak-masakan, dokter-dokteran, bahkan suatu waktu, Jaro rela menjadi kuda dan anaknya berperan sebagai koboi di ruang tamu rumahnya. Mereka bersandiwara hari itu, sibuk mencari bandit yang telah lama mengganggu kehidupan di desanya.
Ia kangen Gendis. Jika perasaan di hatinya dapat diukur dan memiliki peringkat, maka kangen adalah nomor satu. Kedua adalah takut. Ia, Jaro, takut. Sebab, di sebelah Gendis nun jauh di sana, tidak ada dirinya sebagai ayah. Tidak juga ibu. Hanya seorang nenek, yang bukan hanya menjaga cucunya, namun juga mengejar kematian dengan tekun.
Ini adalah tahun kedua Hindun, istri Jaro, bekerja di Taiwan. Ia pergi ke negeri orang sebagai TKI atau TKW atau apapun itu, Jaro tidak mengerti apa bedanya. Yang pasti, Hindun tidak akan pulang dalam waktu dekat. Dalam suatu obrolan telepon yang panjang, Hindun berkata pada Jaro bahwa mungkin ia akan pulang 5 tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi. Hindun selalu berkelakar bahwa itu semua demi Gendis seorang. Hindun tidak mau Gendis hidup dalam kekurangan dan putus sekolah. Hindun tidak mau Gendis hidup dalam kemiskinan.
“Gendis harus sekolah dan pintar,” kata Hindun. “Gendis itu perempuan, ia mesti pintar sebab suatu saat akan menjadi ibu,” lanjutnya dengan terbata-bata dan pelan.
Jaro masih memandangi foto Gendis. Pipinya basah. Jika seseorang berjalan kepadanya dan bertanya mengapa ia sering merindukan Gendis namun jarang merindukan Hindun, orang itu pasti akan Jaro hajar. Dengan tongkat atau tangan kosong, sama saja. Sebab, orang-orang tidak mengerti bahwa, sebagai ayah, ada sesuatu yang entah mengapa membuat kecenderungan untuk mencintai anaknya. Jaro tidak memahami kecenderungan itu, tapi ia tidak menolaknya.
Jaro masih ingat betul, di hari Ahad menjelang Senin, suara tangis Gendis yang baru saja lahir terdengar sampai ke luar ruangan bersalin, terdengar sampai telinganya Jaro. Hari itu Gendis lahir. Dada Jaro dipenuhi rasa senang dan takut. Bercampur aduk, meletup-letup. Waktu itu Jaro hanya mengintip lewat kaca jendela, ia tidak berani masuk sebab baju dan celananya kotor dan basah, ia baru pulang setelah seharian membajak sawah menggunakan traktor di sawah milik Haji Badruddin, juragannya di kampung.
Sebagai seseorang yang hidup dari titah juragan, baik mengurusi sawah, bebek, dan hal lainnya, Jaro mau tidak mau harus jauh dengan Gendis. Seperti saat ini, ia harus pergi ke luar kota dengan bebek-bebek juragannya. Biasanya menggunakan pikap. Dan di tempat yang baru, ia akan mengurusi bebek-bebek itu dengan penuh hati-hati. Pagi-pagi ia akan mengeluarkan bebek-bebek dari kandang, menggiringnya ke sungai untuk minum. Kemudian diberikannya makan, keong atau dedak, sama saja. Setelah itu menggiring lagi ke kandang. Berulang-ulang, di pagi dan sore. Itu semua membutuhkan kesabaran dan ketelatenan, terlebih kemungkinan bebek hilang dari koloninya tetap ada dan itu tentu merepotkan. Atau mati, atau dicuri. Jaro memiliki tanggung jawab itu. Dan sebab itulah, biasanya ia akan tinggal di dekat kandangnya. Di suatu kesempatan ia menyewa kamar dengan uang juragannya. Seringnya ia tidur di dekat kandang, lebih dekat. Di sampingnya, dengan tenda yang cukup bagus. Seperti musim ini.
Seperti itu terus selama berminggu-minggu, sampai kemudian target telur bebek yang menetas terpenuhi. Setelah itu ia pulang, setelah itu ia mengirim telur-telur itu ke Brebes dan sekitarnya untuk diolah menjadi telur asin, juga dikirim ke restoran chinese food di kota seberang. Setelah itu, ia bisa bertemu Gendis. Tapi itu bukan sekarang.
Jaro masih bersandar ke pohon yang sama. Dari ekor mata kirinya, ia melihat sesuatu yang berkilau biru dan bulat. Ia mendelik dan menatapnya. Ternyata sebuah telur. Sebuah anomali, pikirnya. Ini belum waktunya tapi sudah ada yang bertelur. Hanya satu pula.
Jaro melangkah ke telur itu. Ia kini membungkuk dan telur itu, bulat dan biru, berada di depan matanya. Jaro, entah kenapa, menggenggam telur itu kemudian berlari ke tengah petak sawah. Ia melemparkan badannya, ia kini terbaring di bawah matahari yang mengejar malam. Dengan satu lemparan jitu, ia buang telur itu entah ke mana. Terdengar suara pecahnya yang khas. Jaro kemudian tersenyum. Matahari yang terik membuatnya menutup mata dan, lama-lama, meracau juga: dan rindu, tidak bisa berdaulat serta berdiri sendiri. Ia butuh sesuatu untuk dilucuti.
Jaro tertawa kecil. Itu terdengar seperti filsafat, pikirnya. Meski, ia tidak mengerti apa itu filsafat. Ia kembali tertawa.
_
ditulis oleh Agung R. Efendi | diunggah 3 Mei 2025, 19:32